FIQH NISA

Muslimah, Wajibkah Bercadar? (Bag-5-Habis)

Ada sejumlah dalil yang bersumber dari hadits yang menunjukkan bahwa cadar tidak disyariatkan oleh Allah SWT dan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan merupakan aurat.

Imam Abû Dâwud telah meriwayatkan dari Qatadah bahwa Rasul Saw pernah bersabda: “Sesungguhnya seorang anak perempuan jika telah haid (baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan tangan.” (HR Abû Dâwud).

Hadits ini jelas menyatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan merupakan aurat. Juga bahwa Allah SWT tidak mensyariatkan untuk menutup wajah dan kedua telapak tangan dan tidak mensyariatkan cadar.

Demikianlah, dalil-dalil yang sudah dipaparkan terdahulu baik dari Al-Qur’an maupun as-Sunnah menunjukkan secara jelas dan gamblang bahwa seorang wanita muslimah boleh keluar ke pasar dengan tampak wajah dan kedua telapak tangannya. Ia boleh berbicara kepada pria asing sementara tampak wajah dan kedua telapak tangannya. Ia boleh melakukan semua bentuk muamalah yang legal (disyariatkan) dengan orang-orang, baik dalam bentuk jual-beli, bekerja, mempekerjakan orang, tolong-menolong, perwakilan (wakâlah), penjaminan (kafâlah), dan lain-lain, sementara ia menampakkan wajah dan kedua telapak tangannya. Juga bahwa hijab (cadar) tidak disyariatkan oleh Allah SWT kecuali kepada istri-istri Rasulullah Saw.

Meskipun demikian, pendapat mengenai keharusan wanita muslimah untuk mengenakan cadar merupakan pendapat yang Islami, karena memiliki syubhah ad-dalîl (sesuatu yang mirip dalil). Juga karena pendapat tersebut telah dikemukakan oleh sejumlah pemuka mujtahid dari berbagai mazhab. Hanya saja, syubhah ad-dalîl yang mereka jadikan argumentasi adalah lemah sehingga hampir-hampir di dalamnya tidak tampak adanya istidlal.

Kini, tinggal satu persoalan yang masih tersisa, yakni berkaitan dengan pendapat yang dilontarkan oleh sebagian mujtahid bahwa cadar disyariatkan kepada wanita karena adanya kekhawatiran akan munculnya fitnah. Mereka menyatakan bahwa wanita dilarang menampakkan wajahnya di tengah-tengah kaum pria bukan karena wajah itu aurat, tetapi karena kekhawatiran akan muncul fitnah. Pendapat semacam ini batil ditinjau dari berbagai sisi.

Pertama, tidak ada nash syara’ menyatakan pengharaman menampakkan wajah disebabkan adanya kekhawatiran akan muncul fitnah, baik itu dalam Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma Sahabat, ataupun ‘illat syar‘iyyah yang masalah ini dapat di-qiyâs-kan (dianalogikan) kepadanya. Karena itu, pendapat secara syar’i tidak ada nilainya dan tidak bisa dinilai sebagai hukum syara’. Sebab, hukum syara’ adalah seruan asy-Syâri‘ (Sang Pembuat Hukum). Sementara pengharaman untuk menampakkan wajah karena kekhawatiran akan muncul fitnah tidak dinyatakan di dalam seruan asy-Syâri’. Jika telah diketahui bahwa dalil-dalil syariah telah datang dalam bentuk yang betul-betul bertolak belakang dengan pendapat tersebut. Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasul Saw membolehkan secara mutlak untuk menampakkan wajah dan kedua telapak tangan dan tidak membatasinya dengan sesuatupun.

Nash-nash tersebut juga tidak mengkhususkan satu kondisi tertentu. Maka pengharaman menampakkan wajah dan mewajibkan untuk menutupinya, merupakan pengharaman atas apa yang telah dihalalkan oleh Allah SWT, dan mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Rabb semesta alam. Dengan kata lain, pendapat yang mengharamkan menampakkan wajah dan mewajibkan untuk menutupnya, selain tidak bisa dinilai sebagai hukum syara’, hal itu juga berarti membatalkan hukum-hukum syara’ yang telah ditetapkan dengan pernyataan nash secara gamblang.

Kedua, sesungguhnya menjadikan kekhawatiran akan munculnya fitnah sebagai ‘illat pengharaman menampakkan wajah dan mewajibkan menutupinya, tidak terdapat nash syar’i yang menyatakannya, baik secara jelas (sharâhatan), melalui penunjukan (dilâlatan), lewat proses penggalian (istinbâthan), maupun melalui analogi (qiyâsan). Karenanya ’illat tersebut (berupa kekhawatiran akan munculnya fitnah) bukan merupakan ‘illat syar‘iyyah, akan tetapi merupakan ’illat aqliyah (’illat yang bersumber dari akal). Padahal, ‘illat ‘aqliyyah tidak ada nilainya di dalam hukum syara’. ’Illat yang diakui di dalam hukum syara’ hanyalah ‘illat syar‘iyyah, bukan yang lain.

Walhasil, kekhawatiran akan munculnya fitnah tidak ada bobotnya dalam pensyariatan haramnya menampakkan wajah dan wajibnya menutupinya, karena tidak dinyatakan di dalam syara’.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button