OPINI

Nasib Getir Guru Honorer

Namanya Pak Imam (31), teman guru penulis di salah satu sekolah negeri di Desa Sidayu, Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Penulis sudah lama tak bersua dengannya, sejak penulis memutuskan untuk resign. Sampai pasca lebaran tahun ini, atas kehendak Allah Taala, tak sengaja bertemu di salah satu tempat wisata di Kebumen.

Penulis cukup terkejut. Pak Imam sedang nyambi dodolan cinderamata. Ia tak sendiri, ada istrinya yang menemani. Putri kecilnya yang berusia empat tahun pun ia ajak serta. Katanya,mau tak mau ia harus membawa putri kecilnya, sebab tak ada yang menjaganya bila ditinggal sendiri di rumah.

Ya, Pak Imam hanya satu dari ribuan guru honorer yang “nyambi”. Profesinya sebagai guru honorer mapel olahraga, tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Penulis mengerti benar getirnya hidup jadi guru honorer. Selama lima tahun mengajar dengan gaji 300 ribu rupiah per bulan. Namun, memiliki amanah yang sama berat dengan guru PNS. Bahkan kadang kala masih dibebani dengan tugas administrasi sekolah yang menguras tenaga.

Karena beban yang sama itulah, para guru honorer berharap mendapat kesejahteraan yang sama pula. Keinginan mereka tak muluk-muluk, cukuplah gaji yang cukup untuk keluarga mereka bertahan hidup. Maka tak heran bila mereka menuntut haknya.

Sebagaimana diberitakan 70.000 guru honorer dari 34 provinsi yang tergabung dalam Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) melakukan aksi unjuk rasa pada Senin, 29/10/2018, di depan istana presiden. Aksi berlanjut hingga keesokan harinya, Selasa, 30/10/2018 sebab tidak ada tanggapan dari Jokowi atau pihak Istana.

Menurut Ketua Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) Titi Purwaningsih, mereka rela tidur di depan istana, bayar sewa bus dengan lebih mahal hanya karena ingin mendapat jawaban dari Jokowi. Masih menurut Titi Purwaningsih, walau akhirnya perwakilan massa diterima oleh perwakilan Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan (KSP) pada Rabu sore. Namun, pihak KSP tak menjanjikan apapun terkait nasib para guru honorer.

Permintaan agar para guru honorer bisa bertemu langsung dengan Presiden Jokowi atau menteri terkait juga ditolak oleh pihak KSP. Mediasi pun tak dilanjutkan sebab mereka pesimis, tidak ada solusi. Dengan rasa kecewa, pada Rabu sore itu juga, para guru honorer terpaksa membubarkan aksi tanpa membawa hasil (kompas.com, 30/10/2018).

Dalam aksi itu, mereka menuntut pencabutan Peraturan Menteri (Permen) Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 36 dan 37/2018. Regulasi tersebut mengatur honorer K2 yang bisa menjadi PNS hanya yang berusia di bawah 35 tahun. Mereka menolak dijadikan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) karena regulasi tak jelas. Selain itu mereka meminta payung hukum pengangkatan PNS yang pro honorer (cnnindonesia.com, 31/10/2018).

Dua tuntutan tersebut merupakan imbas dari janji Jokowi pada Pilpres 2014. Sebab pengangkatan tenaga honorer K2 menjadi pegawai negeri sipil pernah dijanjikan oleh Presiden Jokowi ketika kampanye Pilpres sekitar bulan Juli 2014. Janji Jokowi itu tertuang dalam Piagam Perjuangan Ki Hajar Dewantara yang ditandatanganinya pada tanggal 5 Juli 2014 di atas materai Rp6000.

Janji Jokowi tersebut dipertegas oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddi Chrisnandi. Yuddi menyebutkan, pengangkatan akan dilakukan secara bertahap. Janji Jokowi yang tertuang dalam piagam Perjuangan Ki Hajar Dewantara merupakan usulan dari Anggota Komisi IX DPR RI, Rieke Diah Pitaloka (koranperdjoengan.com, 31/10/2018).

Miris, ketika para guru honorer tersebut menagih janji, sang pembuat janji malah asyik blusukan ke pasar. Bahkan bungkam saat ditanya wartawan, saat diminta tanggapan soal aksi unjuk rasa dan tuntutan guru honorer di depan Istana Negara. Sebaliknya Jokowi terlihat sibuk melihat jajaran booth yang terpajang di areal Sains Expo di ICE, BSD, Tangerang Selatan (cnnindonesia.com, 1/11/2018).

Begitulah nasib guru honorer dalam rimba demokrasi. Jadi korban janji-janji palsu sang penguasa. Suaranya dicari saat kontes politik, tapi dihempas cantik kala tahta telah diraih. Padahal tugas mereka begitu mulia. Mencerdaskan generasi bangsa. Pahlawan yang katanya tanpa tanda jasa. Tapi faktanya mereka dihargai dengan murah.

Regulasi yang begitu alot, sebab tarik menarik dengan kepentingan para kapitalis. Bukan lagi pada kemaslahatan generasi dan guru yang diutamakan. Tapi hitung-hitungan antara untung dan rugi. Saling lempar tanggung jawab menjadikan nasib guru honorer kian miris.

Bandingkan nasib guru dalam naungan Islam. Imam Ad Damsyiqi menceritakan dalam sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar ( 1 dinar = 4,25 gram emas) (sekitar 39 juta rupiah dengan kurs sekarang).

Tak hanya dihargai secara materi. Islam juga memuliakan kedudukan guru. Islam mengajarkan bagaimana adab dan akhlak seorang murid di hadapan gurunya. Sebab keberkatan ilmu sang murid adalah buah dari adab dan akhlak mulia terhadap gurunya.

Ya, hanya dalam naungan Islam nasib guru sejahtera. Kita semua berharap masa itu tidak lama lagi akan datang. Masa di mana guru tak hanya dihargai secara materi. Tapi juga kedudukannya yang mulia di tengah umat. Insyaallah.

Ummu Naflah
Pengajar, Mantan Guru Honorer

Artikel Terkait

Back to top button