OPINI

NU dan NASAKOM

Dalam kampanye Pemilu 2019 ada pihak yang menganggap NU sama dengan PKI karena 1959-1965, NU mendukung NASAKOM. Tentu saja itu salah.

Bersama Masyumi (57 kursi dan partai Islam lain), NU (45 kursi) menolak PKI masuk kabinet dengan alasan pokok PKI menafsirkan sila pertama Pancasila secara sekuler. Kemudian, karena terlibat pemberontakan PRRI, Masyumi dibubarkan. Jadi tinggal tiga partai besar PNI (57), NU (45), dan PKI (39). Selebihnya partai-partai kecil.

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan jargon NASAKOM dengan pertimbangan demi persatuan yang ketika itu Indonesia sedang menghadapi pembebasan Irian Barat.

Terjadi perdebatan di internal NU, menerima atau menolak. Kalau menolak konsekuensinya, Islam tidak terwakili dalam penyelenggaraan politik kebangsaan dan negara akan didominasi kaum nasionalis dan komunis.

Dengan pertimbangan kaidah fiqh, “mencegah kemudharatan lebih diutamakan daripada menarik manfaat“, maka NU menerima NASAKOM sebagai taktik. Namun secara strategis NU tetap menentang PKI sehingga menolak partai itu masuk kabinet.

Seperti halnya NU, TNI-AD juga patuh keputusan presiden sebagai panglima tertinggi. Akhirnya Bung Karno hanya memasukkan anggota PKI sebagai menteri tanpa portofolio.

Selama periode 1959 sampai 1965 pertentangan itu berlangsung. Baik di lapangan maupun dalam forum politik nasional. NU-lah yang mempertahankan HMI ketika PKI menuntut pembubaran.

Ketika terjadi pemberontakan PKI 30 September 1965, NU dengan dimotori Subhan ZE adalah pihak yang menuntut pertama kali untuk dibubarkan dan selanjutnya bersama TNI menghadapi PKI di lapangan maupun di medan politik.

Tulisan singkat ini semoga bisa menjadi bekal untuk menghadapi mereka yang berusaha mendiskreditkan NU. Dapat digarisbawahi NU tidak pernah memberontak (bughat).

Dr. KH. As’ad Said Ali
(Mantan Wakil Kepala BIN, Mantan Waketum PBNU)

Artikel Terkait

Back to top button