NUIM HIDAYAT

Pancasila itu Teodemokrasi

Pancasila kini ada yang mengarahkan ke demokrasi liberal. Bahkan ada pejabat pemerintah yang mengarahkan Pancasila menerima ateisme atau komunisme. Hubungan atau pujian-pujian pejabat kita ke China komunis bisa ditafsirkan ke arah sana.

Bagaimana sebenarnya demokrasi yang diinginkan Pancasila?

Dalam hal ini kita teringat ketika peristiwa 18 Agustus 1945 pagi. Dimana saat itu Mohammad Hatta melobi Ki Bagus Hadikusumo agar menerima pergantian pasal pertama Pancasila. Dari “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hatta meyakinkan Ki Bagus maknanya sila pertama ini adalah Tauhid, atau ‘qul huwallahu ahad’. Katakanlah Allah itu Esa. Setelah lama Hatta meyakinkan akhirnya Ki Bagus menerima.

Maka jangan heran Hatta juga yang mempelopori dibentuknya Partai Demokrasi Islam di masa Orde Baru. Sayangnya Presiden Soeharto saat itu tidak menyetujuinya.

Setelah lama mendampingi Soekarno dan bergelut dalam perpolitikan tanah air nampak Hatta ingin membawa demokrasi ini ke Islam. Hatta merasa bahwa demokrasi bila dibiarkan liar seperti di Barat, maka akan bertentangan dengan budaya Indonesia. Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, tentu menginginkan agar demokrasi ini menjadi Islami. Bukan demokrasi yang diwarnai kapitalisme atau demokrasi yang diwarnai komunisme.

Hal senada juga dinyatakan oleh mantan Perdana Menteri Mohammad Natsir. Ia menginginkan Indonesia ini dasarnya demokrasi yang berketuhanan (teistic demokrasi). Bukan demokrasi yang mencampakkan nilai-nilai dari Tuhan.

Kata Natsir dalam peringatan Nuzulul Qur’an pada 1954, “Maka apabila yang dituju oleh sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa itu ialah menegaskan segala warganegara dan penduduk negara serta dunia luar, bahwa sesungguhnya manusia tak akan dapat memulai kehidupannya menuju kebajikan dan keutamaan, kalau belum ia dapat menyadarkan dan mempersembahkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka bagaimana Al-Qur’an akan bertentangan dengan sila yang demikian itu.”

Natsir lebih lanjut menyatakan bahwa di masanya itu, mulailah terdengar pendapat-pendapat yang menempatkan Al-Qur’an di satu pihak dan Pancasila di pihak yang lain dalam suasana antagonisme. Seolah-olah antara tujuan Islam dan Pancasila itu terdapat pertentangan dan pertikaian yang sudah nyata tak kenal damai dan tidak dapat disesuaikan. Tokoh besar Islam ini lebih lanjut menyatakan bahwa dalam pangkuan Al-Qur’an, Pancasila akan hidup subur. Satu dengan yang lain tidak apriori bertentangan tapi tidak pula identik. Nilai-nilai yang tersebut dalam Pancasila semuanya bertemu dengan ajaran-ajaran agama. Malah dalam ajaran agama Islam lebih daripada lima sila jumlahnya. Islam adalah serba sila (induk sila).

Jadi dalam pemikiran Hatta dan Natsir, Pancasila ini harus dimaknai sesuai dengan ajaran Islam. Mereka yang mencoba melawankan Islam dengan Pancasila, patut dicurigai mereka adalah orang-orang yang pro komunis. Kelompok komunis dalam masa Orde Lama memang menginginkan sila pertama ini dihilangkan atau dimaknai bahwa Pancasila juga memberikan kebebasan kepada golongan ateisme atau komunisme.

Jumlah orang ateis atau yang tidak menganut agama, menurut data World Population Review ada sekitar 1,2 miliar orang di dunia. Mereka memilih ateis dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk Indonesia sulit menghitung jumlahnya, karena mereka banyak yang menyembunyikan identitasnya. Tapi hingga Januari 2014 menurut data Wikipedia, sudah ada 961 orang Indonesia yang mengaku ateis yang mendaftar di sensus ateis yang diadakan oleh Atheist Alliance International.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button