MUHASABAH

Pemerintah Terlihat Bingung

Memang paradoks, di satu sisi kran impor dibuka luas hingga banjir impor, di sisi lain membenci produk luar negeri. Ini artinya Pemerintah sudah konslet, terganggu kesehatan pikiran, budaya, ekonomi, dan politiknya. Panik soal kebijakan ekonomi domestik. Ke sana salah ke sini keliru.

Sebelumnya soal miras yang diberlakukan lalu dicabut, meskipun hanya lampiran. Juga soal pernyataan Polri status tersangka enam syuhada, setelah itu segera dihentikan. Plan A yang gagal. Sudah “confuse” dalam segala hal. Pemerintah kehilangan “wisdom”, berbicara asal njeplak, dan bergerak menabrak nabrak.

Kalimat harus benci produk luar negeri sudah tidak mempan di telinga dan hati rakyat. Hanya jadi bahan cemoohan dan olok olok. Pemerintah sudah sulit berjalan ajeg meski memang belum mau melempar handuk. Masalah terus bertumpuk dan nampak tak mampu mengatasi. Kebijakan yang diambil sepertinya tutup lubang gali lubang. Menyelesaikan masalah dengan masalah.

Membangun nasionalisme dengan sekedar mengucapkan kata benci pada produk asing adalah naif bahkan berlebihan. Jika oposisi yang menyatakan hal seperti itu sudah pasti buzzer segera menuduh “hate speech”, lalu dilaporkan. Katanya tidak bisa gaul global. Tapi karena sumbernya Presiden, ya sudah tafsirkan saja sedang berapi-api memotivasi nasionalisme.

Seperti dibayangi hantu. Hantu Km 50 terus mengganggu. Takut luar biasa hingga TKP pun dihancurleburkan, penanganan dilambat-lambatkan, serta opini coba diputarbalikkan. Hantu turun tahta menjadi mimpi buruk. Oposisi dibungkam dan potensi lawan dilumpuhkan. Setelah HTI, FPI, KAMI, kini Partai Demokrat diobrak-abrik. Kudeta lewat KLB akhirnya jadi juga. Moeldoko sang Brutus terang-terangan membunuh SBY.

Hantu krisis ekonomi terus menakut-nakuti. Hutang luar negeri bertumpuk, hutang tambahan sulit setengah mati. Investasi asing tidak kunjung tiba dan terus dinanti. Pandemi melemahkan daya beli. Korupsi pun menjadi-jadi. Akhirnya stres dan caci maki. Produk luar negeri yang tidak bersalah pun harus dibenci. Caci maki yang kehilangan arti, sebab kata tidak sesuai dengan bukti.

Pemerintah terlihat bingung, kebijakannya semakin linglung. Meski berjalan terhuyung-huyung di depan rakyat tetap berusaha mencari panggung. Panggung tak bergaung.
Aduh biyung…!

Bandung, 6 Maret 2021

M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Artikel Terkait

Back to top button