NUIM HIDAYAT

Persahabatan 47 Tahun (3-habis)

Oleh: Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)

Dalam pergolakan membela tanah-air, kami tetap dipertemukan Tuhan di dalam satu wadah cita-cita, yaitu kejayaan Islam! Meskipun semuanya dibawa oleh arah watak masing-masing.

Sesudah perpisahan di Bandung itu, setelah pendudukan Jepang (1943) barulah saya dapat berjumpa kembali dengan Natsir dan Isa Anshari. Natsir ketika itu telah bekerja sebagai kepala Bagian Pendidikan di Kotapraja Bandung. Dia pernah datang ziarah kepada ayah saya di Jakarta.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan R.I. 1945, Menteri Penerangan R.I. Mohammad Natsir datang ke Bukittinggi Sumatera Barat. Dia telah menyampaikan kepada kawan-kawan keinginannya hendak bertemu dengan saya. Baru saja mendengar dia datang, dengan segera saya berangkat dari Padang Panjang untuk menemuinya di Bukittinggi. Partai Masyumi ketika itu telah ada. Dalam satu rapat yang ramai dihadiri oleh kawan-kawan, M. Natsir memberikan pandangan dan pengarahan.

Salah satu hal amat penting yang menyebabkan Natsir datang ialah karena terjadi “Peristiwa 3 Maret 1947” di Bukittinggi, yaitu semacam pemberontakan dari golongan yang tidak puas! Yang merasa bahwa Revolusi di Sumatera Barat terlalu lamban jalannya. Terjadilah perkelahian bersenjata di antara beberapa anak dari T.N.I. dengan beberapa anak dari Hizbullah. Tetapi Alhamdulillah perlawanan sia-sia ini dapat dipadamkan.

Penganjur-penganjurnya ditangkap dan ditahan. Lalu timbul tuduhan bahwa yang berontak itu ialah Masyumi!

Natsir dari Masyumi datang sebagai Menteri Penerangan Republik Indonesia untuk menyelidiki dan menyelesaikan soal itu dengan memberikan pengarahan!

Sepeninggal M. Natsir, perkara “Peristiwa 3 Maret” itu dibuka perkaranya dalam sidang Pengadilan Negeri di Bukittinggi pada akhir bulan Mei 1947. Yang menjadi Ketua Sidang adalah Mr. Harun Ar Rasyid. Kawan-kawan separtai dalam Masyumi dan Pimpinan Muhammadiyah Minangkabau menyerahkan kepada saya sendiri dengan penuh kepercayaan untuk bertindak sebagai pembela dari kawan-kawan yang tersangkut dalam peristiwa itu. Di antaranya adalah saudara S.Y. Sutan Mangkuto yang saya gantikan menjadi pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat, karena beliau menjabat sebagai Bupati di Solok.

Di zaman revolusi hal yang tidak kita sangka dapat saja kejadian. Sampai saya yang tidak pernah masuk sekolah, jangankan masuk Fakultas Hukum memberanikan diri menjadi advokat atau pengacara untuk membela dalam satu perkara yang boleh dikatakan besar dan Alhamdulillah pembelaan itu berhasil dengan baik. Dan di waktu itu pula saya ditunjuk menjadi Ketua Front Pertahanan Nasional Sumatera Barat.

Demikianlah saya telah turut sekadar tenaga yang ada pada saya untuk mempertahankan dan membela tanah-air sampai pada datangnya aksi polisionil Belanda yang ke-2 akhir tahun 1948. Masuk ke luar hutan dari dusun ke dusun di bawah pimpinan Pejabat Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Mr. Syafruddin Prawiranegara sampai terjadinya Konferensi Meja Bundar (KMB), bahkan sampai terjadinya perdamaian dengan Belanda.

Pada 18 Desember 1949 sayapun berangkat ke Jakarta. Dan pada 28 Desember 1949 itu pula dilaksanakan Penyerahan Kedaulatan. Dan sejak itulah saya menetap di Jakarta.


1 2 3 4 5Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button