SUARA PEMBACA

Pesta Demokrasi di Tengah Pandemi, Gadaikan Keselamatan Rakyat Demi Kontestasi

Di tengah melonjaknya kasus Covid-19 di berbagai daerah, pemerintah mengumumkan tetap melaksanakan pilkada serentak di 270 daerah yang akan digelar 9 Desember 2020.

“Penyelenggaraan pilkada harus tetap dilakukan dan tidak bisa menunggu sampai pandemi berakhir, karena memang kita tidak tahu, negara mana pun tidak tahu kapan pandemi Covid ini berakhir,” ujar Jokowi (cnnindonesia, 8/9).

Jokowi mengatakan, pilkada harus dilakukan dengan cara baru yakni dengan menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak sosial.

KPU pun bergerak cepat melakukan adaptasi terhadap keputusan Jokowi yaitu dengan mengubah peraturan mengenai pilkada yaitu dengan menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 yang berisi pelarangan konser dalam pilkada di masa pandemi dengan membatasi jumlah peserta maksimal 100 (seratus) orang.

Pilkada belum lagi dimulai, pada awal September lalu 96 orang pengawas pemilu di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, dinyatakan positif covid-19 setelah melakukan pencocokan dan penelitian atau pemuktahiran data pemilih pilkada 2020 setelah mendatangi rumah pemilih secara door to door. Bahkan yang terbaru Ketua KPU RI Arief Budiman dinyatakan positif Covid-19 diikuti dua orang komisioner KPU RI yang juga dinyatakan positif Covid-19 yaitu Evi Novida Ginting Manik dan Pramono Ubaid Thantowi.

Rakyat dibuat ketakutan dengan rencana pemerintah yang tetap ngotot akan melaksanakan pilkada di tengah pandemi yang telah merenggut 10.105 lebih nyawa rakyat Indonesia. Kendati PSSBB telah dijalankan lonjakan penularan Covid-19 tidak terbendung. Dari Kompas.com (24/9), hari ini pasien terkomfirmasi Covid -19 melonjak tinggi 4.634 dari hari sebelumnya dan total yang menjadi 262.022 pasien.

Direktur Indo Barometer, Mohammad Qodari meminta pemerintah dan DPR merespon serius pilkada sebagai kluster Covid -19 karena ini akan menjadi superbig sperader alias bom atom kasus Covid-19. Pilkada ini akan berpotensi melahirkan kerumunan di 305.000 titik. (Beritasatu.com)

Qodari juga menyampaikan, “kalau kita lihat dari jumlah matematika pilkada orang yang terlibat di 305.000 titik TPS tersebut jika memakai target partisipasi 77,5% oleh KPU adalah 106 juta pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) x 77,5% = 82,15 juta orang. Jika positivity rate kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 19%, kata Qodari, maka potensi orang yang terinfeksi dan menjadi agen penularan Covid-19 pada hari “H” mencapai 82,15 juta orang x 19% = 15,6 juta orang.”

Banyak pihak yang meminta pemerintah untuk menunda pilkada, tetapi tidak mendapatkan respon yang baik. Mulai dari Jusuf Kalla hingga Komnas HAM meminta pemerintah untuk menunda pilkada mengigat keselamatan rakyat dipertaruhkan (new.detik.com 20/9).

Keputusan untuk tetap melaksanakan pilkada di tengah tingginya pandemi saat ini, sangat jelas bahwa keselamatan rakyat bukanlah menjadi proritas bagi pemerintah. Keberlangsungan demokrasi jauh lebih diperhitungkan daripada nyawa rakyat, yang semakin hari angka kematian semakin bertambah.

Semakin nampak dan jelas bahwa sistem demokrasi tidak bisa menyelesaikan masalah antara keberlangsungan politik dengan masalah kesehatan rakyatnya. Disaat harus memilih antara politik dan nyawa manusia, sistem ini tetap saja tidak berpihak pada rakyat. Rakyat yang selalu menjadi korban, hingga nyawapun dipertaruhkan demi keberlangsungan demokrasi.

Kerapuhan demokrasi kapitalisme sekuler hanya mementingkan kekuasaan dan abai terhadap rakyat terlihat dari bagaimana sistem kapitalisme menangani pandemi. Kebijakan pemerintah untuk membiarkan rakyat berinteraksi dengan virus yang masuk tidak dihentikan. Rakyatlah yang menjadi korban dari kebijakan yang buruk ini.

Jauh berbeda dengan sistem pemerintahan Islam yang sangat menghargai nyawa manusia. Allah SWT berfirman “….Dan barang siapa yang memelihara kehidupan sesorang manusia maka seolah – olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya…” (Qs al-Maidah (5): 32)

Dengan aturan inilah semua kebijakan dikeluarkan oleh para pemimpin kaum muslim. seperti yang dilakukan Umar bin Khattab pada saat wabah menyerang Syam. Khalifah Umar bin khattab memerintahkan agar melakukan karantina wilayah yang terdampak wabah.

Pada masa Rasulullah Saw wabah penyakit yang dikenal adalah pes dan lepra. Beliau bersabda, “Jika kalian mendengar tentang wabah- wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan trmpat itu.” (Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim)

Sangat jelas sekali bahwa jika karantina ini dilakukan sejak awal munculnya Covid-19, maka tidak akan terjadi penyebaran virus yang tidak terkendalikan seperti saat ini. Wilayah yang tidak terpapar virus, akan melangsungkan kehidupan secara normal. Sementara wilayah yang terpapar virus akan dijamin seluruh kebutuhannya oleh negara.

Pilih Kepala Daerah Cara Islam

Di samping kemampuan sistem Islam menghadapi perluasan wabah pandemi, sistem Islam juga memiliki cara yang sangat efektif dan sangat hemat dalam mengangkat kepala daerah.

Sistem pemerintahan Islam yang biasa disebut khilafah, membagi wilayahnya dalam beberapa bagian yang disebut provinsi. Setiap provinsi memiliki wali (gubernur) yang diangkat langsung oleh khalifah.

Sebagaimana Rasulullah Saw saat mengangkat Muadz bin Jabal untuk menjadi wali di wilayah Janad, Ziyad bin Walid di wilayah Hadhramaut dan Abu Musa al-‘Asy’ari di wilayah Zabid dan ‘Adn.

Rasulullah Saw memilih para wali dari orang-orang yang berkemampuan memegang urusan pemerintahan, yang memiliki ilmu dan yang dikenal ketakwaannya serta mampu “mengairi” hati rakyat dengan keimanan dan kemuliaan negara.

Cara pengangkatan kepala daerah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw tentu saja tidak akan membutuhkan banyak uang dan akan bebas dari permainan kotor suap menyuap. Sangat berbeda dengan cara pengangkatan kepala daerah saat ini, yang sangat sarat dengan korupsi. Apalagi jika dilakukan di tengah pandemi, tentu saja akan menyebabkan banyak yang mempertaruhkan nyawanya.

Mengapa kita masih mau bertahan dengan sistem rusak seperti ini? Saatnya kita kembali kepada syariat Islam yang akan melindungi setiap nyawa manusia. Dengan memilih sistem Islam, maka kita memilih keberkahan Allah SWT. Wallahu a’lam bish-shawab.

Ummu Khadijah
Muslimah Bangka Belitung

Artikel Terkait

Back to top button