OPINI

Piagam Jakarta bagi Umat Islam Indonesia

Piagam Jakarta adalah jalan yang tengah dipilih oleh para pendiri bangsa terhadap dua aliran besar yang berakar dalam sejarah Indonesia, apakah Indonesia akan berdasarkan Islam atau kebangsaan.

Penelitian tesis almarhum Endang Saifuddin Anshari di McGill University (Kanada) pada tahun 1976, menyebut Piagam Jakarta sebagai “a gentleman agreement (perjanjian antara sesama lelaki yang jantan), yaitu antara unsur-unsur islamis dan nasionalis. Seperti dituturkan oleh Mr. Moh. Roem, kelompok nasionalis di sini, “bukan berarti” mereka anti Islam dan tidak beragama Islam dan kelompok Islamis tidak berjiwa kebangsaan. Kedua kelompok adalah sama-sama bersemangat nasionalis dan umumnya beragama Islam, tetapi kelompok nasionalis lebih tertarik untuk menjadikan kebangsaan sebagai dasar negara dari pada Islam.

Banyak faktor yang membuat kelompok nasionalis berpendirian demikian. Salah satunya adalah pengetahuan mereka yang minim tentang Islam politik dan informasi bias yang mereka terima melalui literatur berbahasa Belanda dan Eropah yang tidak diimbangi dengan literatur Islam yang benar.

Piagam Jakarta, adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan tujuh kata yang menerangkan sila ketuhanan. Tadinya sila tersebut berbunyi, “….dengan berdasar kepada: ke Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” kemudian berubah menjadi “….berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.” Penghilangan tujuh kata itu menurut proklamator Moh. Hatta setelah beliau mendapat informasi pada tanggal 17 Agustus 1945 sore dari seorang opsir Jepang yang tidak beliau ingat namanya yang menyatakan bahwa orang Katolik dan Kristen dari bagian timur tidak akan bergabung dengan Republik Indonesia, bila tujuh kata itu tidak dicoret dari konstitusi. Piagam yang ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 itu, akhirnya dirubah pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan alasan yang tidak jelas sumbernya ini.

Rasanya tidak masuk akal bila orang Kristen dan Katolik menolak piagam itu, karena dua dari sembilan orang yang menandatangani Piagam Jakarta terdiri dari wakil-wakil umat Kristen dan Katolik (Mr. AA Maramis dan Mr. J. Latuharhary). Lagi pula piagam itu hanya berbicara tentang kewajiban umat Islam dan tidak berhubungan sama sekali dengan kepentingan umat Kristen.

Karena alasan-alasan yang tidak jelas itu pula, maka wakil-wakil umat Islam dalam Konstituante hasil pemilu demokratis tahun 1955 berusaha untuk memasukkan kembali Piagam Jakarta ke dalam konstitusi permanen Indonesia. Setelah bersidang lebih kurang dua tahun di Bandung, wakil-wakil rakyat Indonesia hampir saja sampai kepada kata sepakat untuk konstitusi baru Indonesia. Sayang sekali, Presiden Soekarno sebagai nasionalis bertindak gegabah dengan membubarkan Konstituante dan membentuk DPR GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) hasil penunjukan serta mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang intinya kembali kepada UUD 1945.

Dalam dekrit tersebut disebutkan “sekalipun tujuh kata dihilangkan, tetapi menjiwai UUD 1945 dan merupakan bagian yang tidak terpisah dari konstitusi”. Jiwa Piagam Jakarta inilah yang telah melahirkan undang-undang Islam dalam negara Republik Indonesia sampai sekarang.

Indonesia kemudian memasuki pemerintahan diktator atas nama demokrasi terpimpin sampai masa jatuhnya Orde Lama pada tahun 1965.

Dengan berdirinya Orde Baru yang ingin memurnikan pelaksanaan UUD 1945 timbul kembali harapan dari kalangan tokoh-tokoh Islam untuk mencantumkan Piagam Jakarta dalam UUD 1945. Sayang sekali pimpinan militer di bawah Jendral Soeharto tidak menyetujui hal itu masuk ke dalam “draft” Panitia Ad Hoc MPRS yang mulai bersidang pada tahun 1966.

Di zaman Reformasi ini, partai-partai Islam yang diwakili oleh Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), kembali mengusulkan di Sidang Tahunan MPR tahun 2000 agar “tujuh kata” itu masuk ke dalam Pasal 29 ayat (1), sehingga pasal tersebut berbunyi: “Negara berdasar kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya bukanlah baru bagi Indonesia. Sejak masuknya Islam ke negeri ini pada akhir abad Hijrah atau awal abad kedua, syariat Islam sudah menjadi jalan hidup bangsa Indonesia yang beragama Islam. Syariat Islam sebagai sistem hukum yang menghendaki kekuasaan negara kemudian dilaksanakan di kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di berbagai pelosok Nusantara. Akhirnya lahir pandangan hidup suku-suku bangsa dengan makna yang sama dan ungkapan mungkin berbeda bahwa “adat bersendi syara’, dan syara’ bersendi Kitabullah. Adat adalah kebiasaan yang berlaku, syara’ adalah “syari’at”; dan Kitabullah adalah Qur’an Karim yang dijelaskan oleh Sunnah Rasulullah s.a.w.

Ungkapan yang mirip dengan ini, menurut Taufik Abdullah dalam “The Oxford Encyclopedia of the Muslim Wolrd” ditemukan hampir pada suku bangsa yang ada di Nusantara. Dengan demikian syariat Islam memang mempunyai dasar yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pakar politik hukum Indonesia, Daniel Lev (seorang Amerika keturunan Yahudi), mengatakan bahwa jauh sebelum kedatangan penjajah Belanda, Indonesia sudah disatukan oleh Hukum Islam.

Syariat Islam secara umum berarti agama Islam itu sendiri. Syariat yang akan ditegakkan dalam kehidupan bernegara adalah syariat yang mempunyai implikasi hukum. Dalam hal ini Hukum Islam mempunyai dua ciri: “diyani” (keagamaan), dan “qadha’i (yuridis). Hukum Islam seluruhnya bersifat diyani, tapi hanya hukum yang bersifat qadha’i saja yang menghendaki kekuasaan negara untuk penegakkannya.

Inilah yang merupakan tuntutan Piagam Jakarta yang diperjuangkan oleh ummat Islam sejalan dengan ayat (2), Pasal 29 UUD 1945 bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”

Menjalankan syariat bagi umat Islam, adalah bagian dari keyakinan memeluk agama dan menjalankan ibadat dijamin oleh konstitusi. Pemeluk agama selain Islam, juga mendapat jaminan dari negara dalam melaksanakan ajaran agama mereka yang mempunyai implikasi hukum (bila mereka mempunyai hukum yang bersifat yuridis).

Selain mendapat jaminan konstitusi agar dijalankan oleh umat Islam, syariat Islam bertujuan untuk menegakkan keadilan antara sesama warga negara tanpa melihat perbedaan warna kulit, suku bangsa atau agama.

Pelaksanaan syariat Islam bagi umat Islam tidak mengurangi sedikitpun hak penganut agama lain untuk menjalankan agama mereka, dan bahkan melindungi lebih baik seperti terbukti dalam sejarah Indonesia dan Dunia. Prinsip yang paling terkenal dalam Islam adalah “tidak ada paksaan dalam agama.” Hal itu karena kebenaran dapat dibedakan dari kebatilan, dan kekufuran dapat dibedakan dari keislaman.

Prof. Dr. Rifyal Ka’bah, M.A.
(Salah seorang Ketua Partai Bulan Bintang 1998, Konseptor Tafsir Azaz Partai Bulan Bintang & Hakim Agung RI, Th 2000 – 2013, Guru Besar Hukum Islam, Wafat 2013)

Artikel pernah dimuat di Buletin Bulan Bintang, edisi 3/Th. II/01/ September 2000.

Artikel Terkait

Back to top button