SIRAH NABAWIYAH

Rasulullah dan Taktik Militer Perang Khaibar

Aku seorang yang gemar tersenyum (Ceria) dan juga ahli peperangan

—Quote legendaris Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Perang Khaibar bulan Muharram tahun 7 Hijriyah, adalah perang besar melawan kekuatan Yahudi terkuat di jazirah Arab. Yahudi Khaibar kerap kali membuat makar terhadap kaum Muslimin di Madinah. Perang pertama pasukan Muslim setelah terjadinya gencatan senjata Hudaibiyah dengan kaum Quraisy ini menandakan realisasi visi Islam untuk menjadikan daerah utara perluasan Qaidah Aminah demi berkembangnya dakwah Islam. Beberapa pelajaran strategi dan taktik militer perang ini bisa disarikan sebagai berikut:

1) Rasulullah memakai strategi yang oleh ilmu militer modern disebut Urban Warfare (Perang Kota). Khaibar adalah negara kota yang dikelilingi benteng-benteng kokoh sebagai ciri khas pertahanan negara kaum Yahudi kuno di Arab. Bahkan dalam beberapa hal mempraktikkan juga Jungle Warfare (Perang Hutan) lantaran sumber air kaum Yahudi dan logistik mereka ada yang dikuasai kaum Muslimin terutama yang letaknya di luar benteng Khaibar. Pemenang perang Hutan yang berlangsung lama pasti terkait dengan siapa yang lebih dahulu menguasai sumber air dan pertanian di sekitar lokasi perang. Hal ini dimaklumi karena Yahudi Khaibar sangat bergantung dari hasil bumi mereka yang tersebar di sekitarnya.

2) Rasulullah amat jeli dalam melihat situasi kalau Yahudi amat bergantung dengan pertahanan bentengnya. Maka taktik beliau adalah bagaimana caranya menguasai benteng Yahudi satu persatu. Kaum Yahudi biasa menyerang dengan senjata lontar anak panah berapi dan beracun dari dalam serta atap benteng. Sampai sekarang menurut Syaikh Muhammad Amahzun, pakar manhaj dakwah Sirah Nabawiyah, Yahudi Israel masih senang berlindung di tempat-tempat yang membuat mereka aman dan nyaman, perang dari dalam tank, perang dari pesawat, atau memblokade Gaza dengan benteng.

Maka sebenarnya Yahudi adalah kaum yang tidak bertaji jika menghadapi perang langsung. Mereka sadar akan “Loyo-nya” militer mereka, maka melalui cukong-cukong mereka orang-orang terkaya di dunia, mereka melobi Paman Sam agar memanjakan mereka terkait persenjataan. Argumentasi ini ada dasar sejarahnya selama berabad-abad yang lalu.

3) Cara panglima Rasulullah dalam menaklukkan benteng-benteng Khaibar sangat cerdik. Beliau memerintahkan regu-regu kecil untuk mengecoh dan memecah konsentrasi tentara Yahudi. Sedangkan pasukan inti berusaha merebut bentengnya dengan serangan-serangan masif. Maka jadilah perang ini sebagai perang dahsyat dengan panah-panah berapi dan beracun yang dilontarkan kedua belah pihak.

4) Sebagai komandan-komandan pasukan yang dipilih Baginda Nabi adalah sahabat yang memiliki kesabaran dan keteguhan luar biasa, siapa lagi kalau bukan generasi as-sabiqun al-awwalun, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab dan terakhir Ali bin Abi Thalib. Bukan Zaid bin Haritsah atau Sa’ad bin Ubadah yang biasa memimpin peperangan terbuka (perang langsung).

Di bawah pimpinan Ali benteng Khaibar bisa ditembus, pasukan Muslim pun berbondong-bondong masuk ke dalam kota. Tidak lama kemudian Yahudi Khaibar yang dikenal congkak dan licik itu pun menyerah kalah. Peperangan Khaibar sendiri berlangsung sampai bulan Safar. Uniknya, penulis kitab-kitab Sirah lebih banyak memfokuskan usaha pasukan Muslim menjebol pertahanan benteng demi benteng ketimbang mengisahkan perang saat pasukan Muslim sudah masuk ke dalam kota dengan leluasa. Ini pertanda kalau Yahudi amat lemah kalau sudah tidak ada benteng pelindung, sehingga tidak sampai sehari, Yahudi Khaibar pun menyerah. Setelah tertawannya pimpinan mereka seperti Sallam bin Misykam dan Huyyay bin Akhtab. Mereka berdua kemudian dihukum mati. Sedangkan jagoan-jagoan tempur Yahudi seperti dua bersaudara Harits Abu Zainab dan Marhab sudah tewas duluan di tangan Mujahidin.

(Bersambung)

Ilham Martasyabana
Penggiat Sirah Nabawiyah

Disarikan dari buku-buku bertema prinsip militer Rasulullah: Ar Rasul Al Qaaid karya Mayjend Syaikh Ahmad Syait Khaththab; The Great Leader karya Syaikh Ratib ‘Armush; dan Manhaj Nabii fii Da’wah karya Syaikh Muhammad Amahzun.

Artikel Terkait

Back to top button