SUARA PEMBACA

Rezim Zalim, #SaveFPI!

Zalim. Kata yang tepat menanggapi wacana pencabutan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Front Pembela Islam (FPI). Santer berita, pemerintah membuka opsi untuk tidak memperpanjang izin FPI sebagai organisasi masyarakat (Ormas). Hal itu diungkapkan Presiden Jokowi dalam sebuah wawancara dengan Associated Press (AP), Jumat (27/7/2019), yang dipublikasikan pada Sabtu (27/7/2019).

Menurut Presiden Jokowi hal tersebut sangat mungkin terjadi. Jika pemerintah meninjau dari sudut pandang keamanan dan ideologis menunjukkan bahwa mereka (FPI) tidak sejalan dengan negara, sebagaimana dilansir dari VOA pada Ahad, 28/7/2019.

Tagar #SaveFPI pun menggema di linimasa. Netizen dibuat berang. FPI yang berkontribusi nyata di tengah masyarakat terancam dicabut izinnya. Padahal menjadi rahasia publik bahwa FPI menjadi garda terdepan di medan bencana. Serta menjadi benteng kemungkaran dan kemaksiatan di tengah umat. Lalu apa salah FPI?

Menilik kembali pidato Visi Indonesia. Presiden Jokowi seolah sedang memberi peringatan bagi ormas seperti FPI, bahwa izin organisasi tersebut bisa saja tidak diperpanjang. Jika terbukti tidak sejalan dengan kepentingan bangsa dan Pancasila setelah ditinjau nanti. Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurut JK, seluruh ormas harus tunduk kepada nilai-nilai Pancasila tanpa terkecuali. (cnnindonesia.com, 30/7/2019).

Menanggapi pernyataan Presiden Jokowi, Jurubicara FPI, Slamet Ma’arif mengatakan Jokowi tidak mendapatkan informasi yang akurat dan lengkap tentang FPI. Bahkan Slamet menyebut pemerintahan Jokowi zalim. Masih menurut Ustaz Slamet Ma’arif, kebebasan berserikat dan berkumpul dijamin secara jelas dalam konstitusi. Ia bahkan menyarankan sebaiknya Jokowi membaca dan melihat kembali putusan MK terkait pendaftaran Ormas, yang menyebut pendaftaran bersifat sukarela. (cnnindonesia.com, 29/7/2019).

Radikalisme dan ancaman ideologi menjadi isu sensitif yang kerap mewarnai diskursus politik Indonesia. Keduanya pun kerap menjadi alat untuk membungkam siapa saja yang menjadi lawan politik rezim ini. Namun, bila diperhatikan, Pancasila menjadi senjata ampuh bagi rezim, untuk menegasikan siapa saja yang menghalangi kepentingan penguasa.

Standar ganda Pancasila jelas tengah dimainkan rezim ini. Skenario yang terbukti ampuh untuk membungkam suara kritis lawan politik. Menjegal langkah siapa saja yang menjadi penghalang. Bahkan mengkriminalisasi Islam, ulama dan umatnya. Di sisi lain, menjadi alat legitimasi melancarkan kepentingan penguasa.

Menolak lupa bagaimana rezim sukses membunuh HTI. BHP HTI dicabut dengan dalih tak sejalan dan bertentangan dengan Pancasila. Dakwah HTI yang mengopinikan Khilafah pun dibenturkan dengan Pancasila. Alhasil HTI pun syahid di tangan rezim ini. Seolah tidak puas dengan membunuh HTI. Kini, FPI pun dibidik. Dengan dalih yang sama, ormas yang digagas dan dibesarkan oleh Imam Besar Habib Rizieq Syihab ini pun terancam syahid.

Kontra dengan sikap rezim menghadapi FPI. Sikap berbeda ditunjukkan rezim bila berhadapan dengan Kapitalis Barat maupun Timur. “Saya Pancasila” yang digembar-gemborkan pun tunduk di bawah hegemoni Sekularisme-Kapitalisme. Tak heran bila ruh Sekularisme-Kapitalisme kental mewarnai setiap kebijakan penguasa.

Ya, koar-koar Pancasila, namun bertolak belakang dengan sikap dan tindakan. Fakta berbicara, SDA dan aset negara diobral murah. Ancaman penjajahan lewat utang luar negeri dianggap lumrah. Megaproyek OBOR dianggap investasi yang menguntungkan. Padahal faktanya jeratan utang China di atas Ibu Pertiwi tercinta. Kran impor sengaja dibuat deras mengalir hingga membuat penghasilan rakyat kering. TKA membanjir, sedangkan PHK massal mengancam tenaga kerja pribumi. Wabah korupsi menjadi santapan wajar perut lapar para pejabat yang membuat miris.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button