SUARA PEMBACA

Setengah Juta Generasi Putus Kuliah, Adakah Solusinya?

Pandemi Covid-19 tidak hanya membawa dampak di sektor kesehatan. Tetapi juga di bidang ekonomi dan pendidikan. Termasuk diantaranya banyaknya mahasiswa putus kuliah. Informasinya lebih dari setengah juta mahasiswa putus kuliah di masa pandemi Covid-19 ini.

Informasi tersebut disampaikan Kepala Lembaga Beasiswa Baznas Sri Nurhidayah dalam peluncuran Zakat untuk Pendidikan di Jakarta secara virtual Senin (16/8). Mengutip data dari Kemendikbudristek, Sri mengatakan sepanjang tahun lalu angka putus kuliah di Indonesia mencapai 602.208 orang. (Jawapos.com)

Tingginya angka putus kuliah dimasa pandemi ini tidak jauh dari pengaruh menurunnya pendapatan masyarakat juga tidak jelasnya proses pelaksanaan pendidikan secara konsep dan  teknis  dimasa pandemi.

Masyarakat mengalami perubahan pola hidup sejak terjadinya pandemi. Termasuk didunia pendidikan. Proses belajar dan perkuliahan yang biasa dilakukan secara langsung disekolah dan dikampus berubah pelaksanaannya secara virtual dirumah-rumah.  Pertemuan pembelajaran hanya difasilitasi dengan penggunaan teknologi virtual secara masif. Hal yang baru,  bahkan sangat baru,  yang memaksa masyarakat untuk belajar secara cepat dan otodidak segala hal yang bersifat virtual.

Kendala ekonomi dan gagap teknologi menjadi alasan utama menurunnya minat sekolah dan perkuliahan.  Masyarakat merasa jika pembelajaran yang dilakukan secara virtual jarak jauh,  sangat tidak efektif bagi siswa dan mahasiswa.  Sehingga mayoritas masyarakat memilih untuk menunda sekolah dan kuliah  sampai pandemi berakhir. Akibatnya jika keadaan ini tidak segera ditangani secara serius oleh pemerintah akan berpotensi pada ancaman kehilangan tokoh-tokoh intelektual masa depan yang dilahirkan dari generasi hari ini. Terpaksa,  pemerintah harus  lebih serius lagi untuk bersegera menangani pandemi dengan strategi yang lebih jitu, tidak berlarut-larut,  agar pandemi segera berakhir dan masyarakat bisa hidup kembali secara normal. 

Namun lagi-lagi, harapan agar pandemi segera berakhir tinggallah harapan. Sulit untuk merealisasikannya saat ini.  Mengingat kemampuan masyarakat dan pemerintah kita yang saat ini sangat terbatas.  Tuntutan kedisiplinan pada masyarakat dan pemerintah yang akan banyak berimbas pada aspek ekonomi menjadi pemikiran dan pertimbangan utama dalam mengambil kebijakan publik.

Akibatnya setiap kebijakan publik yang dihasilkan selalu tumpang tindih,  saling bertentangan dan bertolak belakang.  Sebagai contoh,  jika pandemi ingin segera berakhir konsekuensinya adalah  harus diterapkan sistem lockdown yang berarti hilangnya mayoritas aktivitas manusia diranah publik.  Akibatnya sektor ekonomi akan terhantam hebat,  sedangkan saat ini pemerintah tak mampu menanggung seluruh kebutuhan pokok setiap individu rakyatnya.  Alhasil,  lockdown diterapkan setengah hati.  Hasilnya,  penyakit penyebab pandemi tetap menyebar ekonomi pun tetap ambyar. Ekononi semakin muram diiringi wabah penyakit yang terus menyebar,  sebab masyarakat yang tidak bisa sabar menaati pemerintah yang memiliki hati ambyar.

Adalah hal yang wajar saja semua itu terjadi,  sebab sistem hidup kita saat ini sangat kapitalistik. Semua hal dihitung hanya berdasarkan untung dan rugi. Diwaktu yang sama sistem hidup kita tidak pernah memperhitungkan halal-haram dalam pandangan agama,  semua hal dilakukan semata untuk mendapatkan manfaat jasadi semata.  Sebagai akibat terjadinya sekulerisasi kehidupan berbangsa dan bernegara.  Akibatnya semua kebijakan publik yang  diambil adalah kebijakan yang amburadul,  sebab hanya memperhitungkan kekuatan logika semata,  tak pernah melirik bagaimana Tuhan memberi solusi atas setiap masalah hidup.   Jadilah kehidupan kita hari ini kacau balau.  Yang berimbas secara langsung pada ancamann atas pembentukan generasi intelelektual masa depan. 

Karenanya,  butuh sousi mendasar atas masalah putus sekolah dan putus kuliah ini. Sebab urusannya bukan hanya  sekedar putus sekolah dan putus kuliah saja selesai. Namun urusannya adalah keberlanjutan, kesinambungan dan keberlangsungan generasi intelektual masa depan yang akan melanjutkan estafet perjuangan bangsa.

Dan solusi mendasar tersebut adalah solusi yang wajib sesuai dengan fitrah penciptaan manusia,  solusi yang memuaskan akal dan solusi yang menentramkan jiwa.  Ketiga  unsur yang terkandung dalam solusi tersebut haruslah lengkap,  tidak boleh hilang salah satu dari ketiganya.

Dan solusi yang lengkap dan  sempurna ini hanya  bisa diambil dari sistem Islam kaffah saja,  bukan yang lain. Seraya kita hapuskan sekulerisasi dan kapitalisasi seluruh aspek kehidupan,  tidak terkecuali dalam aspek pendidikan. Sebab hanya sistem Islam kaffah saja yang memiliki konsep yang sangat sempurna terkait bagaimana menangani pendidikan dimasa wabah,  sehingga pendidikan tetap berjalan tanpa harus membebani secara biaya ataupun teknis pelaksanaannya bagi siswa guru mahasiswa dan para dosen.

Sehingga walaupun terjadi pandemi,  masyarakat tetap antusias untuk menyekolahkan dan menguliahkan anak-anaknya. Sehingga keberlangsungan, keberlanjutan dan kesinambungan penciptaan generasi intelektual masa depan akan tetap terjaga dengan baik.  

Karenanya saatnya kita tinggalkann sistem sekuler yang telah menyekulerisasikan dan mengapitalisasi kehidupan kita saat ini, dan menggantinya dengan sistem Islam kaffah yang akan mampu memberikan solusi atas setiap permasalahan hidup kita dengan solusi yang sesuai dengan fitrah manusia,  memuaskan akal dan menenteramkan  jiwa. Wallahualam.

Ayu Mela Yulianti, S.Pt., Pemerhati Generasi.

Artikel Terkait

Back to top button