RESONANSI

Setop Ashabiyah Qaumiyah

Ungkapan Kiai Said Aqil Siroj soal misi penguasaan oleh NU untuk berbagai institusi keagamaan apakah MUI, KUA, masjid bahkan sampai pada khatib Jumat di samping merupakan hak dan kebebasan untuk berbicara, juga sangat tidak bijak bahkan menyinggung banyak pihak. Umat Islam bukan hanya NU. Ungkapan seperti ini menjadi ciri dari kaum radikalis “ashabiyah qaumiyah”–egosentrisme kelompok.

Kini Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas juga menyampaikan hal yang sama yakni cara pandang radikal dan intoleran dengan menyatakan bahwa Kemenag adalah hadiah untuk NU karenanya dapat memanfaatkan banyak peluang di Kemenag hanya demi kepentingan NU. Pandangan berbahaya ini dapat menyebabkan semua elemen baik jabatan maupun pendanaan dialokasikan untuk kepentingan satu pihak saja.

Ashabiyah qaumiyah di tingkat pergaulan berbangsa dan bernegara adalah sikap radikal dan intoleran yang harus dicegah. Esensinya adalah anti kemajemukan dan anti kebhinekaan. Ketika kini dicanangkan program washatiyah atau moderasi beragama maka cara pandang ashobiyah qaumiyah seperti ini adalah awal yang harus dibenahi.

Lord Acton pernah mengingatkan “power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely”–Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan mutlak dipastikan korupsi–Kekuasaan yang dipegang jika tidak waspada dan terkendali dapat menyebabkan korupsi kekuasaan dan kekayaan. Disinilah pentingnya koreksi dan sadar diri. Organisasi keagamaan harus terus ber-amar ma’ruf dan ber-nahi munkar. “corrupt absolutely” adalah kemungkaran yang harus dibasmi.

NU-isasi seperti juga isasi-isasi organisasi lainnya harus dicegah dan disetop. Kita mesti menguatkan kebersamaan keagamaan dengan membangun sikap toleran dan saling menguatkan. Ashabiyah qaumiyah merupakan tiupan permulaan yang menjadi penyebab dari terjadinya perpecahan.

NU yang akan bermuktamar dalam waktu dekat semoga dapat mengokohkan kembali jalan perjuangan dengan berbasis kemitraan keumatan. Lokomotif terpilih adalah figur yang toleran dan tidak radikal. Semoga.

M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Bandung, 25 Oktober 2021

Artikel Terkait

Back to top button