OPINI

Skandal Pencucian Uang Kemenkeu, Sistem Bobrok Cetak Pejabat Tak Amanah?

Kasus Rubicon Mario Dandy berbuntut panjang. Menguak satu per satu borok pejabat. Mulai dari gemar pamer barang mewah hingga gaya hidup bak sultan. Rumah mewah, harta berlimpah, tetapi urung bayar pajak. Hingga yang terbaru, skandal pencucian uang yang menyeret lebih dari 460 ASN Kemenkeu. Gaji tak seberapa, tetapi harta miliaran. Inikah borok pejabat dalam pusaran sistem bobrok?

Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU), Mahfud MD, mengaku mendapatkan informasi total transaksi sebesar Rp300 triliun di Kemenkeu. Transaksi gelap yang disebut Mahfud sebagai laporan pergerakan uang yang mencurigakan periode 2009-2023 ini paling banyak berasal dari pegawai di Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta diduga melibatkan lebih dari 460 pegawai.

Merespons temuan tersebut, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengatakan bahwa pihaknya hingga siang ini (13/03) tidak mendapatkan informasi mengenai Rp300 triliun tersebut, dari mana perhitungannya, transaksinya apa saja, dan siapa yang terlibat. Namun, Menkeu tak menampik bahwa total pegawai yang diidentifikasi melakukan transaksi mencurigakan berdasarkan surat permintaan analisis dari Inspektorat Jenderal Kemenkeu ke PPATK atau inisiatif PPATK sendiri mencapai 964 pegawai sejak 2007 hingga 2023. (cnbcindonesia.com, 13/03/2023).

Menurut kepaniteraan.mahkamahagung.go.id, pencucian uang atau money laundering merupakan perbuatan untuk menyamarkan atau menyembunyikan asal-usul uang atau harta hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal. Di Indonesia, tindak pidana pencucian uang ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Sudah menjadi rahasia publik bahwa tindakan korupsi kerap dibarengi dengan tindak pencucian uang. Tujuannya tidak lain untuk menyembunyikan fakta atau memalsukan data korupsi melalui transaksi keuangan, meskipun pencucian uang tidak selalu dilakukan oleh pelaku korupsi.

Maraknya tindak pencucian uang di kalangan tuan pejabat ini sejatinya mencerminkan kegagalan politik demokrasi mencetak pejabat yang amanah dan jujur dalam mengurus urusan rakyat. Sebaliknya, sistem ini justru menumbuhsuburkan penyelewengan kekuasaan, korupsi, dan pencucian uang.

Fakta berbicara, korupsi dan pencucian uang ini seolah menjadi bisnis politik dalam naungan demokrasi. Sebab, mahalnya biaya politik dalam naungan demokrasi nyata menyuburkan relasi antara elite politik dan pemilik modal dalam pesta demokrasi. Tidak heran, kala sudah menjabat, para tuan pejabat ini pun berusaha untuk mendulang keuntungan untuk mengembalikan modal. Alhasil, penyelewengan kekuasaan demi keuntungan pun dilakukan, mulai dari korupsi hingga pencucian uang.

Di sisi lain, sistem kehidupan yang sekuler dan liberal nyata melahirkan gaya hidup hedonisme dan konsumerisme di kalangan pejabat dan keluarganya. Tidak heran jika tidak sedikit pejabat, tak ketinggalan istri dan anaknya, berlomba-lomba pamer barang mewah dan gaya hidup bak sultan di jejaring media sosial. Sudah pamer, nirempati pula terhadap derita rakyat yang makin tercekik pajak. Inilah wajah tuan pejabat yang penuh borok dalam naungan sistem bobrok.

Kondisi ini jelas bertolak belakang dengan kondisi para pejabat dalam naungan sistem Islam. Dalam paradigma Islam, akidah Islam menjadi pondasi dalam membangun negara. Aturannya bersumber dari Al-Khaliq Al-Mudabbir, yakni Allah SWT. yang menciptakan dan mengatur segalanya secara detail dan solutif.

Akidah Islam inilah yang menumbuhsuburkan kesadaran bahwa setiap individu senantiasa diawasi oleh Allah SWT. Sehingga muncul kontrol individu dalam diri pemimpin, elite politik, aparat, dan pejabat negara. Akidah ini niscaya menjadi benteng yang kokoh bagi individu dari penyelewengan kekuasaan, korupsi, dan tindak pencucian uang.

Di sisi lain, sistem Islam tidak membutuhkan biaya tinggi dalam pemilihan pejabat. Sehingga menutup pintu bagi para pemilik modal untuk mengintervensi dan mengontrol kebijakan negara. Para pemimpin pun hanya fokus dalam mengurusi kemaslahatan rakyat sesuai koridor syarak.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button