MUHASABAH

Syukur dan Kufur Nikmat

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta kepada semua pihak agar tidak kufur nikmat karena pelambatan pertumbuhan ekonomi pada 2019 yang hanya sekitar 5,02 persen saja. Jokowi memang mengakui terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi dibanding tahun 2018 yang mencapai 5,17 persen. (Viva.co.id, 6/2/2020).

Menurutnya, perlambatan ekonomi saat ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara G20. Indonesia menempati urutan kedua dalam hal pertumbuhan ekonomi. Ia meminta pertumbuhan ekonomi yang masih di atas 5 persen, yaitu 5,02 persen harus disyukuri.

Mendadak Pak Presiden begitu fasih berkata ‘syukur’ dan ‘kufur’. Menurut Imam Al Ghazali, kufur nikmat adalah menggunakan kenikmatan yang Allah berikan pada jalan-jalan yang tidak diridai Allah dan enggan mengucapkan alhamdulillah. Kufur merupakan lawan dari kata syukur. Kufur adalah mengingkari nikmat yang telah diberikan Allah dimana hatinya tidak mengakui bahwa semua nikmat yang diterima pemberian dari Allah, lisannya tidak memuji atas nikmat yang Allah berikan, dan anggota tubuhnya tidak digunakan untuk beramal salih. Sementara syukur adalah ungkapan terima kasih atas nikmat yang telah Allah berikan, dengan jalan menggunakan nikmat itu sebagai sarana beribadah kepada Allah.

Kalaulah pertumbuhan ekonomi stagnan di 5 persen dikatakan kufur nikmat, lalu bagaimana dengan syukur nikmat ala penguasa? Kebanyakan, penguasa dan pejabat negeri ini tak pandai bersyukur. Diberi nikmat harta malah bertingkah. Korupsi tak ada habisnya. Diberi nikmat sebagai pemimpin malah mangkir. Tak peduli dengan derita rakyat fakir dan miskin. Diberi jabatan tinggi, bertindak menzalimi dengan kebijakan yang membebani. Diberi kekayaan alam berlimpah, tak dikelola dengan benar. Negerinya kaya alam, rakyatnya justru kelaparan. Apa artinya nikmat jika tidak digunakan sebagai wasilah ibadah? Lebih tepat, penguasa dan pejabatlah yang banyak kufur nikmat.

Kalau rakyat, kami sangat bersyukur atas nikmat. Di atas kebijakan menyayat, iman masih didekap. Di bawah kepemimpinan khianat, rakyat masih berharap mereka sempat bertobat. Di bumi zamrud khatulistiwa, ada secercah harap negeri ini bisa selamat. Di atas segala kezaliman, rakyat pun masih mengingat ada Allah sang Pemilik Jagat. Rakyat masih bersyukur karena harapan kepada Tuhannya tak pernah luntur. Kecintaan kepada agamanya tak kendur meski digempur narasi dan fitnah yang terus diluncur. Seperti radikalisme, intoleran, terorisme, anti NKRI, anti Pancasila, dan sejenisnya.

Siapa yang kufur, siapa yang bersyukur? Yang kufur tak tahu diuntung. Penguasa kufur nikmat nasibnya tak akan mujur. Sebab, kekuasaan yang mereka bangun berdiri di atas tangisan dan jeritan rakyat. Untuk apa berkuasa namun tak digunakan untuk menegakkan aturan Allah yang Maha Kuasa? Untuk apa memimpin jika kepemimpinannya tak membuatnya tunduk pada Pencipta? Inilah kekufuran nikmat yang nyata. Tak pernah menggunakan nikmat sebagai ladang menanam amal dan pahala. Malah menumpuk dosa dengan berbagai kebijakan yang tak memihak rakyat

Semoga, Anda semua sadar. Nikmat yang Allah beri bila tak digunakan untuk ketaatan kepadaNya hanya akan berujung pada kesengsaraan di dunia dan akhirat. Mari syukuri nikmat dengan bersikap taat pada aturanNya. Tinggalkan sistem kapitalis sekuler yang melahirkan manusia-manusia kufur nikmat. Syukuri nikmat dengan ketaatan total pada aturan yang Allah tetapkan. Kembali kepada Islam dan terapkan secara kaffah dalam kehidupan individu, masyarakat, dan negara. Allah SWT berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim 14: Ayat 7). Wallahu a’lam.

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Artikel Terkait

Back to top button