SUARA PEMBACA

Hakim Agung Terseret OTT, Mimpi Pemberantasan Korupsi?

Korupsi di negeri ini makin menjadi-jadi. Bahkan menjamur hingga ke lingkungan Mahkamah Agung. Tempat final peradilan kasasi dalam demokrasi, yang seharusnya mengadili para penjahat tapi malah melakukan hal jahat dengan menerima suap (korupsi). Muncul anekdot yang berbunyi ‘penegak hukum itu sangat patuh dengan undang-undang KUHP, Kasi Uang Habis Perkara.’

Dirilis Kompas.com (25/09/2022), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan OTT atau Operasi Tangkap Tangan di Jakarta dan Semarang. OTT ini berhasil menjaring 10 orang tersangka. Salah satunya Hakim Agung Sudrajad Dimyati termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Kepaniteraan MA, pengacara dan pihak swasta. Mereka sebagai tersangka kasus suap jual-beli putusan di Mahkamah Agung dalam sengketa perdata Koperasi Simpan Pinjam (KSP) intidana.

Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menganggap bahwa fenomena mafia peradilan ini “sudah menjadi rahasia umum”.

Korupsi di kalangan penegak hukum bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya ada Jaksa Pinangki yang terlibat dalam kasus suap Djoko Tjandra, pelaku skandal Bank Bali. Awal tahun 2022 pun KPK juga menangkap Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi. Dalam sistem demokrasi, hakim dipandang sebagai ‘wakil tuhan di dunia’. Sayang, ‘wakil tuhan’ kok malah korup, bagaimana hukum akan ditegakkan?

KPK selaku lembaga yang menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi, juga tidak bersih dari pelanggaran. Sebut saja Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar yang terlibat dalam sejumlah pelanggaran kode etik dan dugaan pelanggaran tindak pidana. Namun, malah lolos dari jerat hukum dan hanya mendapat sanksi kode etik, lalu mengundurkan diri.

Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan sepanjang tahun 2020 rata-rata sanksi yang diberikan kepada pelaku korupsi amat ringan yakni 4 tahun. Pemerintah juga royal memberikan remisi atau pemotongan masa tahanan terhadap para tikus berdasi. Pada bulan September ini saja terdapat 23 terpidana korupsi yang bebas bersyarat. Khusus Jaksa Pinangki, ia mendapatkan diskon masa tahanan hingga 60%. Bukan main.

Peradilan juga tidak aman dari intervensi politik. Tumpul pada rezim dan pejabat serta orang kaya. Namun tajam menusuk bagai belati bagi orang yang berseberangan dengan rezim serta rakyat miskin.

Problem korupsi ini adalah problem bawaan dari sistem demokrasi-sekuler kapitalis. Berbagai kasus korupsi yang kian menggurita di negeri ini tak akan bisa diberantas tuntas. Jika aturan manusia masih menjadi ruh. Menegakkan keadilan dengan benar dan adil akan tercapai jika sesuai peraturan Ilahi.

Dalam Islam, kedudukan hakim amatlah penting. Ia diperintahkan Allah SWT untuk berlaku adil dengan menerapkan syariah-Nya dalam peradilan. Allah SWT berfirman: “Sungguh Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian berlaku adil.” (QS An-Nisa’: 58).

Dan Rasulullah mengingatkan, “Sungguh hakim itu ada tiga golongan; dua di neraka dan satu di surga: (1) hakim yang mengetahui kebenaran, lalu memutuskan perkara dengan ilmunya, maka ia berada di surga; (2) hakim yang memberikan putusan kepada manusia atas dasar kebodohan, maka ia di neraka; (3) hakim yang berlaku curang saat memberikan putusan, maka ia di neraka.” (HR Ibnu Majah).

Untuk itu, Islam memiliki solusi untuk dunia peradilan. Pertama, jabatan hakim hanya diisi oleh orang-orang alim dan benar-benar bertakwa. Kedua, hakim hanya mengadili dengan menggunakan hukum Islam bukan yang lain. Ketiga, menerapkan hukum secara adil sesuai ketetapan syariah. Dalam peradilan Islam tidak mengenal banding, apalagi remisi. Keempat, Khalifah sebagai kepala negara juga akan mengawasi dan mengaudit kekayaan para hakim, sebagaimana pada pejabat negara lainnya. Jika ditemukan penambahan harta yang tak wajar, Negara akan menyitanya sebagai milik Baitul Mal.

Islam solusi tepat menangani korupsi khususnya di lembaga peradilan. Juga solusi berbagai problematika umat. Kembalilah berhukum dengan aturan Islam. Itulah hukum dan sistem terbaik. Wallahu a’lam bishawwab.

Asma Sulistiawati, Pegiat Literasi.

Artikel Terkait

Back to top button