SUARA PEMBACA

Impor Guru, Timbulkan Masalah Baru

Wacana impor guru yang digaungkan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani, jelas mencederai hati guru. Walaupun wacana tersebut kemudian diluruskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy. Sebab menurut Muhadjir, yang dimaksud Menko Puan bukan ‘mengimpor’, melainkan mengundang guru atau instruktur luar negeri untuk program Training of Trainers atau ToT. Instruktur luar negeri itu tidak hanya untuk sekolah, tetapi juga untuk lembaga pelatihan yang berada di kementerian lain, misalnya, Balai Latihan Kerja atau BLK. (republika.co.id, 13/5/2019).

Wacana tersebut jelas mengundang penolakan dari berbagai ikatan dan persatuan guru di Indonesia. Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Unifah Rasidi, mengatakan tegas menolak impor guru. Ia menyebut impor guru ini bisa mengancam kesatuan, nasionalisme, perbedaan budaya dan mengganggu rasa keadilan guru honorer. Ia juga menjelaskan jumlah guru di Indonesia masih sangat banyak, terutama guru honorer. Lebih baik mengangkat para guru honorer dan melatih profesionalisme mereka serta meningkatkan kesejahteraan mereka. (republika.co.id, 13/5/2019).

Koordinator Wilayah Perkumpulan Honorer K2 Indonesia (PHK2I) Maluku Utara Said Amir mengatakan wacana tersebut sangat melukai hati honorer K2 dan non kategori. Sudah mengabdi puluhan tahun tetapi tidak dihargai pemerintah. Menurutnya, kebijakan tersebut sangat tidak menghargai anak bangsa. Guru honorer sudah jungkir balik dengan gaji super rendah, tapi yang dihargai justru guru asing. Apakah di Indonesia kekurangan guru sampai mau datangkan guru asing. Ia pun mengimbau para pemimpin negeri ini untuk tidak melakukan kebijakan yang merugikan guru honorer K2. Sudah tidak diperhatikan, jangan lagi disepelekan. (jpnn.com, 12/5/2019).

Dengan istilah apa pun, wacana impor guru jelas mengundang keresahan di tengah para guru. Apatah lagi di tengah berbagai problematika guru yang tak kunjung kelar. Nasib guru honorer yang masih mengambang hingga hari ini, juga perlu diperhatikan. Alih-alih menyelesaikan masalah guru, pemerintah malah menimbulkan masalah baru.

Mengimpor guru dengan berbagai dalih dan alasan juga membutuhkan dana yang tak sedikit. Jika selama ini pemerintah menggantungkan nasib guru honorer dengan alasan pendanaan. Mengapa kini terkesan mudah mengeluarkan nominal yang tak sedikit untuk mengimpor guru? Tentu akan lebih bijak jika dana tersebut dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan guru, khususnya para guru honorer.

Program Training of Trainers atau ToT yang digagas sebagai solusi untuk meningkatkan kinerja dan profesionalitas guru dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0, juga patut dipertanyakan. Karena sesungguhnya kualitas guru dalam negeri tak kalah baik dengan kualitas guru luar negeri. Sayangnya, pemerintah terkesan tidak serius dalam mendukung dan mengembangkan mutu dan profesionalisme guru.

Masuknya guru asing juga patut diwaspadai. Tak menutup kemungkinan, keberadaan guru asing menjadi ancaman transfer budaya, pemahaman dan pemikiran liberal ala Barat. Hal ini jelas perlu mendapat perhatian, mengingat latar belakang budaya yang sangat bertolak belakang. Di mana adat ketimuran dan norma agama masih sebagai pegangan.

Impor guru jelas menjadi wacana yang prematur dan menimbulkan masalah baru. Suatu hal yang wajar di tengah sistem pendidikan kita yang amburadul. Sekularisme kapitalisme telah melahirkan sistem pendidikan yang berorientasi pada materi. Komersialisasi pendidikan telah menggiring dunia pendidikan kita pada untung rugi atas kontrol asing.

Di satu sisi, kapitalisme telah gagal mencetak guru yang berkualitas. Sebab pemerintah telah menjadikan materi sebagai landasan. Peran guru masa kini tak lagi dianggap penting. Padahal pahlawan tanpa jasa ini merupakan salah satu kunci penting dalam membangun pondasi adab, akhlak, pola pikir dan pola sikap generasi. Peran guru sangat besar dalam melahirkan generasi yang tangguh. Generasi yang memiliki berkarakter kuat, mampu sebagai problem solver dan memiliki skill dalam kehidupan. Hari ini, alih-alih fokus dalam mendidik generasi, guru justru dipusingkan dengan berbagai problematika di dunia pendidikan.

Namun tidak demikian dalam pandangan Islam. Kepemimpinan Islam akan mampu melahirkan pendidik yang mumpuni dan kompeten. Dalam Islam, guru memiliki kedudukan yang sangat mulia. Bahkan adab yang baik terhadap guru menjadikan keberkahan terhadap ilmu yang diperoleh. Oleh karena itu menjadi keharusan negara untuk menaruh perhatian besar terhadap guru karena peran dan tugasnya yang mulia. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alayhi wa Sallam: “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak memuliakan yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti (hak) orang yang berilmu (agar diutamakan pandangannya).” (HR. Ahmad).

Menjadi kewajiban negara menyelenggarakan sistem pendidikan yang baik dengan Islam sebagai asasnya. Di satu sisi menjadi kewajiban negara menghasilkan guru yang berkualitas. Dalam naungan Islam, guru tidak akan disibukkan dengan masalah penyelenggaraan pendidikan, karena hal tersebut menjadi tanggung jawab negara. Fokus guru hanya mendidik generasi dan menghasilkan generasi yang tangguh dan mumpuni.

Negara juga berkewajiban menjamin kesejahteraan guru. Jika dalam pusaran kapitalisme nasib guru seolah tersungkur. Dalam Islam, guru akan dijamin kesejahteraannya. Sehingga guru akan maksimal dalam berkontribusi dalam memajukan bidang pendidikan, sain dan teknologi.

Pengelolaan sumber pendapatan negara dengan baik dan benar, sesuai syariah, menjadikan negara mandiri dan berdikari. Termasuk dalam hal pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dan jaminan kesejahteraan guru. Dunia pendidikan pun terlepas dari komersialisasi dan kontrol asing. Sehingga dengan alasan apapun impor guru tak diperlukan lagi. Wallahu’alam.

Ummu Naflah
Penulis, Muslimah Peduli Generasi

Artikel Terkait

Back to top button