OPINI

‘Islam Moderat’ dan ‘Moderasi Beragama’

Pada September lalu, pemerintah menaikkan anggaran program Moderasi Beragama untuk tahun 2022 menjadi Rp3,2 Triliun. Hal itu disampaikan Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto, pada Malam Peluncuran Aksi Moderasi Beragama yang diselenggarakan Kementerian Agama (Kemenag) secara daring dan luring, Rabu (22/9/2021) malam. “Tahun ini baru saya ketuk (sahkan) dengan pak menteri (agama) itu sebesar Rp3,2 Triliun”.

Jumlah tersebut berarti naik delapan kali lipat dibanding anggaran tahun 2021 yang hanya Rp400 Miliar. Peruntukan dana sangat besar ini menandakan bahwa proyek moderasi beragama di negeri ini merupakan proyek yang sangat penting hingga masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024.

Sejumlah buku pedoman dan panduan Moderasi Beragama pun telah diluncurkan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada pada 8 Oktober 2019 dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 22 September 2021. Dikatakan bahwa Moderasi Beragama adalah proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang.

Cara seseorang beragama harus selalu didorong ke jalan tengah, harus senantiasa dimoderasi, karena ia bisa berubah menjadi ekstrem, tidak adil, bahkan berlebih-lebihan. Menurut Kemenag, pemahaman dan pengamalan agama dianggap ekstrem jika ia melanggar tiga hal: pertama, nilai kemanusiaan; kedua, kesepakatan bersama; dan ketiga, ketertiban umum (Lihat: Tanya Jawab Moderasi Beragama, Badan Litbang dan Diklat Kemenag, 2019)

Latar Belakang Wacana

Namun, jika ditelusuri lebih jauh, gagasan ‘moderasi beragama’ ini setali tiga uang dengan gagasan ‘sekularisasi’, ‘demokratisasi’, ‘liberalisasi’ dan ‘deradikalisasi’ yang semakin gencar didengungkan sejak peristiwa 11 September 2001 atau 9/11 —serangan yang menghancurkan menara kembar World Trade Center (WTC) New York dan menewaskan lebih dari dua ribu orang. Pemerintah Amerika Serikat kemudian memburu kelompok militan Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden yang dituding bertanggung jawab atas serangan tersebut, dan mengumumkan ‘Perang Melawan Teror’ dengan menginvasi Afghanistan untuk menggulingkan Taliban yang melindungi anggota-anggota Al-Qaeda dan jaringannya.

Sebagaimana dinyatakan oleh Profesor Amy L. Friedman: “Setelah serangan teroris pada 11 September 2001 itu, pemerintah AS mulai menyadari bahwa mereka perlu memahami dan mempengaruhi sikap dunia Islam terhadap AS. Tujuan utama pemerintah AS di bawah Presiden George W. Bush adalah untuk melawan tantangan ‘Islam radikal’ yang berpotensi menjadi teroris. Untuk menumbuhkan sikap yang lebih hangat terhadap AS, serta untuk mendorong demokrasi dan hak asasi manusia, pemerintah AS berusaha menciptakan dan menguatkan jaringan ‘moderat’ untuk melawan ‘Islam radikal’.

Dalam melakukan ini, pemerintah AS berupaya mendukung ‘Islam sipil’, yaitu kelompok masyarakat atau ormas Islam yang menyerukan ‘moderasi’ dan ‘modernitas’. Ini digarap melalui program pendidikan, acara radio, serta melalui artikel di surat kabar maupun esei.

Di negara-negara seperti Indonesia, Mali, dan di tempat lain, USAID mendanai proyek-proyek serupa untuk perdamaian dan pembangunan. Tujuan utamanya adalah mendukung interpretasi Islam yang moderat.

Caranya dengan menggaet pihak ketiga —yaitu negara-negara Muslim moderat, yayasan, dan kelompok-kelompok ‘reformis’— untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi, hak-hak perempuan, dan toleransi, baik secara terang-terangan ataupun dengan cara yang halus”. Dalam bahasa aslinya:

1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button