SUARA PEMBACA

Kampus Merdeka ala Menteri Nadiem, Benarkah Merdeka?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim meluncurkan empat program kebijakan untuk perguruan tinggi. Program yang bertajuk “Kampus Merdeka” ini merupakan kelanjutan dari konsep “Merdeka Belajar” yang diluncurkan sebelumnya (tempo.co).

“Perguruan tinggi di Indonesia harus menjadi ujung tombak yg bergerak tercepat, karena dia begitu dekat dengan dunia pekerjaan, dia harus yang berinovasi tercepat dari semua unit pendidikan,” ujar Nadiem di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Jumat, 25 Januari 2020.

Senada dengan Mendikbud, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin meminta lembaga pendidikan lebih jeli melihat kebutuhan dunia industri agar tidak banyak sarjana yang menganggur. “Saat ini banyak sarjana yang belum terserap jadi tenaga kerja andal. Hal ini akibat tidak jelinya lembaga pendidikan menangkap kebutuhan pasar tenaga kerja,” kata Ma’ruf dalam sambutannya di acara wisuda sarjana strata satu angkatan XXIII Sekolah Tinggi Agama Islam Shalahuddin Al-Ayyubi, di Gedung Serbaguna I, Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Ahad, 26 Januari 2020.

Beberapa program yang tercakup dalam “Kampus Merdeka” antara lain sebagai berikut.

Pertama, Kemudahan membuka program studi baru. Nadiem mengatakan akan memberikan otonomi bagi perguruan tinggi negeri dan swasta untuk membuka program studi (prodi) baru. Nadiem mengatakan selama ini pembukaan prodi bukan hal mudah, padahal perguruan tinggi terus dituntut untuk menjawab kebutuhan industri.

Kedua, Perubahan sistem akreditasi kampus. Nadiem mengatakan ada ada tiga tantangan dalam program akreditasi yang selama ini berlaku. Di antaranya proses dan persyaratan yang menjadi beban, banyaknya antrean perguruan tinggi atau prodi yang belum terakreditasi, dan keharusan bagi prodi atau perguruan tinggi yang ingin naik level akreditasi internasional tapi tetap harus meregistrasi di tingkat nasional.

Ketiga, Kemudahan status kampus menjadi badan hukum. Nadiem mengatakan akan memberikan kemudahan perubahan status dari perguruan tinggi negeri satuan kerja (PTN-Satker) dan badan layanan umum (PTN-BLU) menjadi badan hukum (PTN-BH). Nadiem berujar, pemerintah akan membantu dan mempermudah perguruan tinggi yang ingin meraih status badan hukum.

Keempat, Mahasiswa bisa magang tiga semester. Nadiem mengatakan kebijakan keempat ini menjadi favoritnya, yakni hak magang tiga semester di luar program studi. Kebijakan ini akan memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar prodi selama satu semester.

Jika kita melihat secara jeli program “kampus merdeka” yang diluncurkan tersebut maka kita akan melihat beberapa hal. Pertama, kampus akan diarahkan untuk memiliki tujuan utama untuk bisa mencetak “pekerja” sesuai dengan keinginan industri. Dengan demikian, kampus yang sejatinya sebagai pencetak intelektual berubah menjadi sekedar pencetak tenaga terampil bagi kepentingan korporasi. Tak ada lagi motto pengabdian masyarakat, yang ada justru insan penghamba kapitalis. Kedua, dengan adanya kemudahan perubahan bentuk perguruan tinggi untuk berstatus badan hukum maka jelas pemerintah akan semakin lepas tangan terhadap penyelenggaraan pendidikan. Ketiga, kampus bisa bekerja sama dengan bermacam-macam lembaga untuk membuka program studi (prodi) baru.

Perusahaan multinasional, startup, BUMN, sampai organisasi dunia seperti PBB pun bisa ikut menyusun kurikulum untuk prodi baru tersebut. Keempat, internasionalisasi pendidikan sejatinya akan menjadikan kampus semakin sekuler dan liberal.

Maka patutlah dipertanyakan, benarkah slogan “kampus merdeka” tersebut? Faktanya kampus akan semakin tersandera oleh industri dan korporasi. Orientasi pembangunan Pendidikan tinggi bukanlah untuk menghasilkan intelektual yang menjadi tulang punggung perubahan menuju kemajuan.

Mahasiswa dididik hanya untuk menjadi budak kapitalis, bukan menjadi intelektual yang akan menjadi problem solver di tengah masyarakat. Bahkan dengan orientasi pendidikan yang salah kaprah tersebut akan menghasilkan lulusan pendidikan tinggi yang individualistik, semakin jauh dari masyarakat dan tak peduli dengan umat. Maka slogan Tri Dharma PT untuk melakukan pengabdian masyarakat telah berganti wajah menjadi pengabdian bagi industri dan kaum kapitalis. Lebih parah lagi jika mereka terjauhkan dari kemuliaan akhlak dan budi pekerti akibat pendidikan yang sekuler-liberal. Tidak cukupkah kasus Reynhard Sinaga menjadi pelajaran?

Program “Kampus Merdeka” sejatinya akan menjadikan pengarusutamaan Perguruan Tinggi di tangan korporasi semakin deras. Bukan hanya dibuka, tetapi program ini akan menjadikan semakin lebar kran liberalisasi. Padahal pendidikan di Indonesia selama ini sudah menyisakan berbagai macam problematika. Pergantian kurikulum yang terus berubah mengikuti perkembangan ekonomi politik sejatinya sudah cukup menjadi stressor bagi mahasiswa. Belum lagi, pembiayaan perguruan tinggi yang semakin lama semakin besar menjadikan rakyat semakin berat dan tidak mampu mengenyam pendidikan tinggi. Layaklah slogan, “orang miskin dilarang kuliah”.

Dari dari program ini seharusnya kita bisa mengambil pelajaran. apakah komersialisasi pendidikan ini yang kita inginkan? Apakah output perguruan tinggi sebagai budak kapitalisme yang kita dambakan? Apakah kita rela jika para sarjana hanya akan dijadikan budak perusahaan yang hanya memikirkan urusan pribadi mereka dan abai terhadap permasalahan umat? Maka sungguh program “kampus merdeka” ini sejatinya bukanlah merdeka, namun justru kampus telah dijajah oleh korporasi. Dijajah dan dituntut agar arah pendidikan sesuai dengan keinginan mereka. Sungguh ironis!

Maka, yang dibutuhkan oleh perguruan tinggi sesungguhnya adalah mengharap hadirnya negara, bukan justru negara lepas tangan. Namun, apalah daya inilah pil pahit yang harus ditelan oleh rakyat yang berada di negara neo-liberal. Negara ini telah mengkomersilkan semua layanan publik yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Polemik layanan kesehatan ditangan BPJS nyata tak pernah habis, dan kini pendidikan pun harus terpasung dengan liberalisasi yang semakin mencekik. Semua tak lepas dari perpolitikan global. Akibat Indonesia terikat oleh ratifikasi GATS sejak tahun 2005 yang menjadikan sektor jasa pun harus dikomersilkan.

Maka jika kita masih memegang erat sistem neo-liberal ini sampai kapanpun pendidikan tinggi akan terus terjajah dan tidak akan pernah mampu mencetak ilmuwan yang bermanfaat bagi umat. Patutlah Indonesia belajar bagaimana di abad pertengahan dunia Islam telah mencetak para ilmuwan yang berpengaruh di dunia. Ilmuwan tersebut antara lain Al-Khawarizmi (780-846 M) ahli matematika, Ibnu al-Haitham (965-1040 M) ahli astronomi dan matematika, Jabir ibnu Hayyan (721M – 815 M) peletak dasar ilmu kimia modern, Ar-Razi (865-925 M) ahli pengobatan, serta sederet lainnya menguasai sains dan juga memiliki basis ilmu agama atau keislaman yang amat kuat. Contoh lain adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani bukan hanya seorang ulama besar, beliau juga menguasai 13 bidang ilmu sains mulai dari astronomi hingga kedokteran. Juga Ibnu Sina (980-1037 M), sebagai Bapak Pengobatan Modern yang oleh sejarawan George Sarton disebutkan sebagai ilmuwan paling terkenal dari Islam juga seorang ilmuwan multidisipliner. Dan masih banyak yang lainnya.

Para Ilmuwan tersebut adalah hasil dari tata kelola pendidikan tinggi di era kehilafahan. Saat itu, tata kelola pendidikan dilaksankan selaras dengan sistem politik-ekonomi yang berlaku di negara tersebut. Pengaturannya didasarkan kepada seperangkat prinsip yang bersumber dari aturan Allah SWT. Diterapkan melalui sistem pemerintahan yakni khilafah yang telah didesain Allah SWT sehingga selaras bagi keniscayaan terlaksanakannya sejumlah prinsip pendidikan Islam.

Prinsip-prinsip tata kelola tersebut antara lain sebagai berikut. Pertama, pelayanan pendidikan harus steril dari unsur komersil. Kedua, negara bertanggung jawab penuh dalam peran pelayanan pendidikan. Ketiga, strategi pelayanan harus mengacu pada tiga aspek yakni kesederhanaan aturan, kecepatan pemberian layanan, dan dilaksanakan oleh individu yang profesional. Keempat, negara berkewajiban mengalokasikan anggaran dengan jumlah yang memadai untuk pengadaan pendidikan gratis yang berkualitas bagi setiap anggota masyarakat. Kelima, pengelolaan keuangan yang amanah (anti korupsi dan tidak boros). Keenam, peran individu/swasta dalam pengelolan pendidikan tinggi tidak dibenarkan menjadikan kelalaian tanggung jawab dan fungsi negara, apalagi sampai mempengaruhi kurikulum pendidikan tinggi.

Maka, sudah saatnyalah kita meninggalkan sistem kapitalisme yang telah nyata menjadikan pendidikan hanya sebagai pabrik pencetak budak korporasi. Selanjutnya, marilah kita berjuang untuk mewujudkan sistem Islam, sebagai satu-satunya sistem yang akan bisa mewujudkan manusia yang memiliki intelektual unggul musltidisipliner dan peduli terhadap kondisi umat, insyaallah.

Ifa Mufida
(Pemerhati Kebijakan Publik)

Artikel Terkait

Back to top button