OPINI

Kebebasan Pers Kian Terancam

Tanpa pers yang bebas, negara tidak bisa disebut sebagai demokratis. Itu prasyarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar.

Kebebasan pers dan demokrasi adalah dua sisi mata uang. Tidak bisa dipisahkan. Tanpa itu, sebuah negara jelas bukanlah negara demokratis.

Kalau toh tetap mengklaim, ngaku-ngaku sebagai negara demokratis, kualifikasinya adalah pseudo democracy. Demokrasi semu.

Dari sisi itu tanda-tanda Indonesia menjadi demokrasi semu, kian kuat. Tim Lindsay, seorang akademisi dan peneliti dari Universitas Melbourne, Australia malah menilai Indonesia di bawah rezim Jokowi telah berubah menjadi “Neo New Order.”

Penilaian semacam itu merupakan sebuah ironi. Neo Orde Baru, mengacu pada pemerintahan otoriter Indonesia di bawah rezim Soeharto selama 32 tahun.

Sementara Indonesia harusnya jauh lebih maju dalam praktik demokrasi. Era Reformasi sudah memasuki dua dasa warsa (21 tahun). Harus lebih mapan dan dewasa secara demokrasi.

Rabu (2/9) malam di sejumlah platform pertemanan heboh. Tulisan akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun di Tempo.co tiba-tiba menghilang. Tak bisa dibuka.

Tulisan tersebut semula tampil di kolom opini dengan judul “Kejahatan Besar Sedang terjadi di Indonesia.”

Ubed, begitu biasa dipanggil menyoroti secara tajam dan keras berbagai praktik penyimpangan dalam kepemimpinan Jokowi. Namun ketika tautan kolom itu dibuka, opini Ubed menghilang. Tidak bisa dibuka.

Keterangan yang muncul: Page Not found. Sorry you have accesed a page that does not exist or was moved. Halaman tidak ditemukan. Akses halaman sudah tidak ada, atau dipindahkan.

Beberapa saat kemudian artikel tersebut muncul kembali di kolom “Indonesiana.” Judulnya sudah berubah menjadi “Persoalan Besar Sedang Terjadi di Indonesia.”

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button