SUARA PEMBACA

Komunis dan LGBT Dipelajari, Islam Dikriminalisasi

Kaget rasanya ketika membaca berita bahwa Menristekdikti, Mohamad Nasir, memperbolehkan civitas akademik untuk mempelajari paham Komunis (Marxisme) dan LGBT. Ia mengatakan tidak masalah baginya, sepanjang bisa dipertanggungjawabkan.

Sementara itu, pada kesempatan lain, ia mewacanakan untuk melakukan pendataan akun sosial media milik mahasiswa dan dosen. Alasannya, untuk mencegah penyebaran paham radikal di lingkungan kampus, demi menjaga keutuhan NKRI.

Jika kita amati, pada dasarnya Menristekdikti telah menerapkan standar ganda. Begitu terbukanya ia terhadap paham komunis dan sekuler, tetapi disaat yang sama tidak memberi ruang terhadap civitas akademik yang ingin mempelajari Islam secara kaffah di lingkungan kampus. Bahkan ada upaya kriminalisasi bagi mereka yang mempelajari Islam secara kaffah dengan cara diawasi akun sosial medianya.

Ini menunjukkan bahwa ia telah terjangkiti virus Islamophobia yang akut. Ketakutan terhadap Islam sebagai ideologi telah membuat ia sesat pikir dan kehilangan akal sehat. Padahal jika memang kebaikan yang ia inginkan, maka seharusnya ia memberi ruang kepada mahasiswa dan dosen yang mempelajari Islam, baik Islam sebagai agama atau pun Islam sebagai sistem kehidupan. Karena Islam adalah rahmatan lil ‘alamin yang akan mewujudkan kemaslahatan bagi umat.

Selain itu, mempersilahkan mahasiswa untuk mempelajari paham komunis tanpa dibekali dengan pemahaman akidah yang benar dan kokoh (bagi kaum muslim) hanya akan semakin menjauhkan mereka dari Islam dan mengagungkan ajaran manusia. Bayangkan saja, kehidupan yang kian sekuler, jauh dari agama, kemudian diterjang arus pemahaman yang keliru, wajar jika hasilnya semakin menjauhkan mereka dari agamanya sendiri.

Mengapa pemikiran-pemikiran sekuler ini terus tumbuh? Hal ini tidak lain karena sistem kehidupan yang kita pakai adalah sistem sekuler, yang melarang ajaran agama masuk ke dalam ranah kehidupan bernegara. Maka, rincian kebijakannya pun sekuler. Kurikulum pendidikan pun sekuler.

Berbeda dengan Islam. Landasan hidup seorang muslim baik dalam urusan pribadi atau pun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah Laa ilaaha Illallaah, Muhammadar Rasulullaah. Maka apa pun yang akan dia kerjakan, tidak keluar dari apa yang sudah diajarkan oleh Rasulullaah saw.

Berkaitan dengan pernyataan Menristekdikti tentang kebolehan mempelajari ajaran komunis, maka Islam tidak akan memberikan peluang masuknya ide, pemikiran dan pemahaman yang akan memperlemah akidah kaum muslim. Pendidikan diawali dengan penanaman akidah yang kokoh pada jiwa seorang muslim. Ide atau pemikiran yang bertentangan dengan Islam hanya boleh dipelajari jika penanaman akidah ini telah tertancap kuat pada benak mereka.

Kebolehan mempelajari ide-ide asing yang bertentangan dengan Islam bertujuan untuk mengetahui letak kesalahan ide atau pemikiran tersebut. Bukan untuk dijadikan sebagai acuan dalam menjalani hidup. Wallahu a’lam bishowab.

Herni Kusmiati
(Warga Kota Banjar)

Artikel Terkait

Back to top button