SUARA PEMBACA

Migrasi Kompor Gas ke Listrik Demi Siapa?

Kementerian ESDM dan PLN sedang menjalankan uji coba program migrasi kompor gas elpiji ke kompor listrik 1.000 watt (okezone.com, 19/09/2022). Uji coba kompor listrik itu dilakukan di dua daerah yaitu Solo dan Bali. Masing-masing daerah akan diujicobakan sebanyak 1.000 rumah tangga.

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan keseriusan pemerintah untuk program konversi kompor gas elpiji ke kompor listrik. Meskipun memerlukan waktu yang tidak sebentar, program migrasi harus dijalankan sebab tak mungkin tergantung dengan barang impor. Ya, si melon 3 kg adalah produk impor.

Harga keekonomian gas elpiji 3 kg terlampau jauh dibandingkan dengan harga saat ini. Sehingga membebani APBN yang terus mensubsidi ketersediaan pasokan si melon. Menurut catatan Kementerian Keuangan, lebih dari 90% kenaikan nilai subsidi berasal dari kesenjangan harga jual eceran dengan harga keekonomian LPG 3 kg yang terlampau tinggi.

Selain itu, upaya migrasi kompor gas elpiji ke kompor listrik atau induksi dalam rangka menyiasati kelebihan pasokan/oversupply listrik PT PLN (Persero). Hal ini diungkapkan pula oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif. Kontrak listrik PLN menerapkan skema take or pay. Artinya, dipakai atau tidak, PLN harus tetap membayar listrik yang diproduksi produsen listrik swasta (IPP), sesuai kontrak yang dibuat (cnnindonesia.com, 22/09/2022).

Benarkah untuk Kepentingan Rakyat?

Program konversi kompor elpiji ke kompor listrik, akan membantu masyarakat untuk berhemat. Menurut Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasojo, hematnya hingga Rp 8.000 per kilogram elpiji (kompas.com, 21/09/2022). Jika dibuat persentase, sekitar 10-15 persen biaya yang dihemat dengan penggunaan kompor induksi.

Ketua pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengungkapkan, penggunaan kompor listrik akan menambah pengeluaran masyarakat (medcom.id, 23/09/2022). Pasalnya, masyarakat tetap memerlukan kompor gas sebagai antisipasi apabila listrik PLN mati. Ini jelas menambah beban masyarakat.

Beban tambahan dari program migrasi ini, masyarakat perlu memperbarui seluruh alat masak yang sesuai dengan kompor induksi. Belum lagi dengan beban tarif dasar listrik yang akan meningkat. Sebab kompor induksi memerlukan listrik 1.000 Watt, artinya perlu tambah daya lagi. Terbayang bagaimana sulitnya rakyat jika program ini dilanjutkan. Padahal rakyat sudah babak belur, nyaris sekarat, dihantam badai covid dan kenaikan harga BBM.

Merunut penjelasan pemerintah tentang alasan program migrasi kompor elpiji ke kompor listrik, dapat disimpulkan beberapa poin. Pertama, negara tak hadir untuk rakyat. Alasan subsidi gas elpiji membebani APBN, semakna bahwa pemerintah memandang rakyat adalah beban. Jadi, negara tak berfungsi sebagai pelayan rakyat. Apa yang mereka janjikan saat kampanye jelang kontestasi, ternyata hanya lips servis.

Tentang oversupply listrik PLN, andai negara hadir untuk rakyat, tentu yang dilakukan adalah memeratakan distribusi listrik hingga ke pelosok negeri. Masih banyak desa-desa yang belum teraliri listrik. Atau listrik hanya menyala sejak jam 6 sore hingga jam 6 pagi, sementara siang hari tak ada listrik. Jelaslah bahwa negara tak hadir untuk rakyat.

Kedua, tak ada kemandirian energi. Negeri ini kaya akan SDA dan tak sedikit tenaga ahlinya. Namun lebih memilih impor dibandingkan mendayagunakan tenaga ahli pribumi untuk mengelola SDA sendiri. Membuka keran impor hanya akan menguntungkan para importir, tapi tidak untuk rakyat.

1 2Laman berikutnya
Back to top button