SIRAH NABAWIYAH

Quraisy, Selayang Pandang

Pada abad kelima masehi, tokoh Quraisy Makkah Hasyim bin Abdu Manaf dan ketiga saudaranya Abdu Syams bin Abdu Manaf, Muthalib bin Abdu Manaf dan Naufal bin Abdu Manaf mengejutkan dunia perdagangan Arab melalui terobosannya yang berani, dengan membuka akses atau serikat dagang ke mancanegara. Dibukanya akses dagang ke berbagai peradaban besar dunia di zaman itu membuat nama suku Quraisy melambung, sekaligus menjadikan mereka menjalin persahabatan dengan raja-raja besar saat itu seperti Kaisar Byzantium, Kaisar Persia, dan raja Habasyah.

Di masa putra-putra Abdu Manaf inilah suku Quraisy mengokohkan kedudukannya sebagai suku paling dipertuan di jazirah Arab. Proses pengukuhan kedudukan yang telah ada sejak zaman Qushay, kakek dari Hasyim dan saudara-saudaranya. Di samping punya kekuatan politik yang disegani, ketinggian nasab dan penghormatan dari bangsa Arab dikarenakan kedudukannya sebagai pengurus Ka’bah, semua itu turut membuat Quraisy melenggang menjadi suku paling kaya di jazirah Arab. Akses dagang keluar negeri dan persekutuan bisnis mereka dengan kerajaan-kerajaan besar inilah yang disebut ilaf, yang istilahnya ada dalam Al-Qur’an surat Quraisy ayat 1-2. Saat perdagangan luar negerinya sudah sangat kuat dan mapan, salah seorang putra Hasyim, yakni Syaibah bin Hasyim atau yang lebih dikenal sebagai Abdul Muthalib, menggarap tugas penjamuan ibadah hajinya untuk semakin memperkuat ekonomi Makkah di kemudian hari.

Abdul Muthalib sebagai salah seorang tokoh utama Quraisy bukan mengeksploitasi Ka’bah untuk bisnis, tetapi dengan sinergi. Ibadah haji benar-benar tertata rapi saat Makkah memiliki figur Abdul Muthalib. Ia juga memiliki nuansa religius yang tinggi dan cinta damai. Terbukti hampir tidak pernah namanya disebut terlibat peperangan dengan pihak lain. Ibadah haji di bawah pengelolaan Abdul Muthalib berhasil menarik pengusaha dan konsumen dalam jumlah yang sangat besar hingga memberi keuntungan yang besar pada Quraisy Makkah. Sebenarnya tugas khusus Bani Hasyim dan Abdul Muthalib dalam pengelolaan haji ialah siqayah, yakni tugas menyediakan air minum para jamaah haji yang berdatangan dari berbagai wilayah. Kendati demikian, kharisma dan kecerdasan Abdul Muthalib itulah yang membuat Makkah berhasil mensinergikan potensi ibadah dan ekonomi secara seimbang.

Menarik untuk disimak secara berurutan

Pertama, peristiwa mendapatkan ilaf atau kontrak/perjanjian dagang lintas negara. Imam Harawi menyatakan bahwa ilaf merupakan perjanjian Quraisy dengan para raja. Di mana Hasyim bin Abdu Manaf mendapat ilaf dengan raja Syam, Romawi Byzantium; saudara kembar Hasyim, Abdu Syams bin Abdu Manaf mendapat ilaf ke Habasyah dan Mesir; Muthalib bin Abdu Manaf mendapatkan ilaf ke Kisra, Persia. Sedangkan Naufal bin Abdu Manaf mendapat ilaf sama seperti Abdu Syams ke Habasyah dan Mesir (Al-Alusi, Ruh Al-Ma’ani, juz 2 dalam Tijani Abd Qadir Hamid). Ilaf ini telah membuat suku Quraisy menjadi suku paling makmur dan kaya di seantero Arab.

Makna ilaf menunjukkan kepada hubungan internasional Quraisy, “yaitu hubungan yang menyatukan Quraisy dengan bangsa-bangsa lainnya. Apakah mereka itu bangsa Persia, Romawi, Habasyah, atau kabilah-kabilah yang bersekutu dengan mereka. Hubungan-hubungan ini, tanpa bisa dipungkiri, merupakan kontak politik dan ekonomi,” tutur Tijani Abd Qadir Hamid, (Pemikiran Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta: GIP, 2001, h. 162-63).

Tijani juga menyebutkan bahwa ilaf secara bahasa merupakan kesatuan, maka itu menurut fakta sejarahnya ada dua hal yang saling berdekatan, (1) Kesatuan politik sosiointern kaum Quraisy. Makna ini sesuai dengan tradisi bahasa (Arab) yang berarti: kesatuan dan perkumpulan. (2) Terminologi perjanjian politik dunia internasional dari Quraisy. Kedua hal ini terkandung dalam makna ilaf serta sesuai fakta sejarahnya.

Kedua, mengadakan rihlah yaitu perjalanan aktivitas dagang sepanjang tahun setelah mendapatkan akses atau kontrak dagang, dengan mudah, aman dan murah. Keturunan Abdu Manaf telah menjadikan keluarganya beserta seluruh suku Quraisy mendapat keuntungan yang sangat besar. Kebutuhan-kebutuhan barang yang tidak ada di suatu wilayah, sengaja dipasok dan dijual suku Quraisy di wilayah tersebut, sehingga meskipun tanah Makkah tergolong tandus namun suku Quraisy menjadi amat kaya. Perdagangan lintas negara dioptimalkan oleh suku Quraisy dengan ilaf tersebut, hal itu dimungkinkan karena Quraisy punya jalur dagang yang luas. Dengan demikian nama Quraisy terkenal ke seluruh penjuru wilayah peradaban-peradaban yang ada di masa itu, bahkan menjadi icon bangsa Arab.

Ketiga, dengan Ibadah: Optimalisasi potensi ibadah haji di Makkah dan pelayanan yang memuaskan terhadap seluruh jamaah haji. Tetapi di sinilah permasalahannya, kaum Quraisy, bahkan figur-figur seperti Hasyim dan Abdul Muthalib ketika melaksanakan peribadahan, mereka tidak menjalankan ibadah kepada Allah semata. Di masa jahiliyah hampir tidak ada tauhid kepada Allah di benak Quraisy, mereka malah menyekutukannya dengan beribadah dan berdoa melalui berhala. Bahkan berhala-berhala tersebut diletakan di sekitar ka’bah. Allah SWT di kemudian hari menurunkan firmanNya dalam Al-Qur’an terkait perilaku suku Quraisy ini di surat Quraisy.

Oleh karena ketiga hal inilah kaum Quraisy mencapai hal keempat, puncak kemakmurannya. Mereka terjamin ketersediaan pangan dan keamanannya. Di masa itu kalau sebuah masyarakat sudah terjamin logistik, pangan, dan keamanannya maka sudah terpenuhi semua kebutuhannya. Sekalipun kehidupan di gurun Arab rentan perampokan, hal itu tidak berlaku bagi kaum Quraisy karena semua kalangan dan suku bangsa Arab amat menghormati serta memandang tinggi kedudukan mereka. Maka tidak pernah terdengar barang dagangan kaum Quraisy dirampok di zaman jahiliyah sekalipun.

Belum lagi jika mengingat sosok ‘nyentrik’ Hasyim ayah Abdul Muthalib. Istri-istri Hasyim kala itu ada di semua jalur perdagangan Quraisy, keenam istrinya ada di wilayah jalur dagang kerajaan Persia, kerajaan Romawi, kerajaan Habasyah, Yaman hingga Yastrib. Dengan begitu Hasyim memiliki istri-istri dari keturunan pembesar suku yang ada di berbagai wilayah tersebut. Apa yang diperbuat Hasyim merupakan tradisi yang sudah dianggap biasa di zaman itu, karena banyak berbesan dengan suku-suku berpengaruh dianggap suatu kemuliaan.

Sebelumnya, Quraisy menjadi kekuatan dominan di jazirah Arab, bangsa Arab memang sudah dikenal sebagai bangsa pedagang dan petani. Bahkan bangsa Nabatean yang memiliki ibu kota zaman kuno Petra, dikenal sebagai bangsa Arab Kuno yang cekatan dalam perdagangan. Setelah itu, kerajaan Himyar di Yaman tumbuh menjadi pusat kekuatan ekonomi di jazirah Arab. Melalui pertanian yang berkembang, memungkinkan bangsa Arab untuk melakukan ekspor dan impor, lantaran ekonomi makro yang tumbuh dengan pesat (M. Abdul Karim. Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007, h. 55). Kendati kota Makkah sejak zaman Nabi Ismail AS telah menjadi kota yang disucikan, namun Makkah belum menjadi pusat kekuatan ekonomi. Makkah mulai diperhitungkan kekuatan ekonominya sejak bani Khuza’ah mengambil alih kepemimpinan. Awalnya kemapanan Quraisy mendapatkan momentumnya saat dipimpin oleh Qushay bin Kilab.

Quraisy sendiri merupakan julukan dari Fihr bin Malik bin An-Nadhar bin Kinanah, kendati ada juga yang menyatakan Quraisy merupakan panggilan An-Nadhar bin Kinanah dan keturunannya (Ibnul Jauzi, Zadul Masir fii Ilmi Tafsir: Juz Amma, QS Quraisy) An-Nadhar sendiri adalah kakek dari Fihr. Keturunan Kinanah selain dari selain An-Nadhar inilah yang kemudian disebut Bani Kinanah, sekalipun An-Nadhar juga putra Kinanah.

Dahulu kala dalam tradisi dan kultur bangsa Arab, pasar bukan hanya menjadi tempat berjual-beli namun juga tempat pertemuan para ahli sastra. Tradisi tersebut berlangsung berabad-abad, sejak masa jahiliyah hingga masa awal Islam. Para penyair saling mengumandangkan syari dan puisinya, baik dalam rangka membanggakan diri, keluarga, kabilah serta suku, maupun demi menegaskan kedudukan keluarga, kabilah dan sukunya di telinga orang-orang Arab.

Hal itu telah menjadi kebiasaan secara turun-temurun. Para juri pun dihadirkan untuk menilai dan memutuskan pemenang lomba sastra, hanya para peserta yang paling tinggi kebahasaannya yang akan memenangkan lomba, yakni dengan melihat keindahan balaghah dan kedalaman maknanya. Tokoh yang pernah menjadi pemenang contohnya adalah An-Nabighah Asz-Dzubyani, bahkan sebuah kubah merah sengaja dibuat untuk mengenangnya. Tercatat pula nama-nama juri lomba sastra di pasar adalah Aktsam bin Shaifi, Hajib bin Zurarah, Al-Aqra’ bin Habis, Amir bin Azh-Zharib, Abdul Muthalib, Abu Thalib serta Shafwan bin Umayyah. Selain Nabighah, figur-figur sastrawan hebat seperti Hasan bin Tsabit, Khansa, Umar bin Khaththab dan Hindun binti ‘Utbah adalah beberapa nama saja ahli sastra yang pernah mengumandangkan sastranya di pasar ‘Ukazh.

Pasar-pasar Arab berperan besar dalam perkembangan ekonomi, keagamaan, kebudayaan dan pergaulan sosial bangsa Arab. “Pasar juga menjadi tempat berkumpulnya para penyair terkenal, menjadi tempat mengamankan darah (penghidupan) dan harta mereka” (Al-Ya’qubi, Tarikh Al-Ya’kubi, h. 325). Bahkan sistem sosial dan budaya Arab tidak akan mungkin terdeskripsikan dengan jelas tanpa memperhatikan pasar mereka, selain menggembala, beternak dan bertani, bangsa Arab dikenal sebagai bangsa pedagang.

Selain Ukhazh ada sekitar sembilan pasar paling terkenal di jazirah Arab, di antaranya Dumatul Jandal, yang buka tiap bulan Rabi’ul Awwal, pemilik pasar tersebut adalah suku Ghassan dan suku Al-Kalbi, dua suku yang hidup dan bertempat tinggal di sana. (Tarikh Al-Ya’qubi, h. 325). Keduanya adalah suku yang berafiliasi ke Romawi Byzantium serta banyak dari mereka yang memeluk agama Kristen. Pasar-pasar Arab ada yang bersifat permanen dan ada berupa pasar musiman, serta ada yang ditujukan untuk desa-desa sekitar pasar saja seperti pasar Hajr, Hujr Al-Yamamah, dan Asy-Syihr. Pasar yang ditujukan untuk masyarakat dari desa-desa sekitar umumnya pasar-pasar kecil. Ada pula yang ditujukan untuk masyarakat Arab secara umum, yang menarik pengunjung dari seluruh jazirah Arab, seperti pasar Ukhazh. Pasar musiman itu ditujukan untuk pengunjung dari seantero jazirah Arab, yang diadakan pada hari-hari atau bulan-bulan tertentu serta dikunjungi banyak orang. Barang dagangan yang dijual di pasar Ukhazh sangat beraneka ragam seperti kismis, kurma, minyak, samin, lauk-pauk, cuka, minyak wangi, pakaian, segala macam jenis hewan, dan juga ada jual-beli budak seperti umumnya dunia kuno.

Di pasar saling mengumandangkan sastra, mendengarkan syair, puisi dan saling berbangga-bangga diri adalah hal biasa ketika itu, juri-juri yang akan menilai serta memutuskan pemenang sastra yang paling indah juga turut diundang, misalnya seperti An-Nabighah Asz-Dzubyani, sebuah kubah merah sengaja dibuat untuk mengenangnya, tercatat pula nama-nama juri lomba sastra di pasar adalah Aktsam bin Shaifi, Hajib bin Zurarah, Al-Aqra’ bin Habis, Amir bin Azh-Zharib, Abdul Muthalib, Abu Thalib serta Shafwan bin Umayyah. Suku Quraisy adalah suku yang paling makmur dan kaya. Hal itu dimungkinkan karena mereka memiliki ilaf ke peradaban-peradaban besar seperti Byzantium, Pesia, Yaman dan Habasyah. Di masa Hasyim dan Abdul Muthalib, Quraisy mencapai puncak kemakmuran. Kepemimpinan Abdul Muthalib kemudian diwariskan kepada Zubair bin Abdul Muthalib, tokoh utama dibalik terbentuknya hilf al-fudhul. Zubair adalah putra sulung Abdul Muthalib dari istrinya Fathimah binti Amr. Zubair ini saudara seibu pula dengan Abdullah, ayahanda Nabi SAW dan Abu Thalib. Zubair memiliki potensi dan kapasitas yang mumpuni untuk menjadi tokoh besar di Makkah, tapi rivalitas dengan tokoh-tokoh besar keluarga lain menghambat Zubair untuk dapat mempertahankan Makkah seperti yang telah ditata Abdul Muthalib.

Pencapaian Abdul Muthalib yang telah mensinergikan potensi ibadah dan ekonomi, ketika mulai terjadi persaingan antar keluarga pembesar Quraisy pasca Abdul Muthalib wafatt bergeser ke motif harta dan ekonomi. Para pesaing bani Hasyim melihat potensi untuk mendatangkan kemakmuran dari eksploitasi Ka’bah. Mereka sama sekali ingin mengeksploitasi tatanan haji sebagai ekonomi belaka, demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Dimensi ibadah tergeserkan sepenuhnya oleh motif keuntungan ekonomi.

Penyebab rivalitas secara umum, adalah kepentingan ekonomi, rival Zubair adalah tokoh-tokoh Quraisy yang melanggar tatanan yang dibangun Abdul Muthalib untuk meraih keunggulan ekonomi yang lebih besar dengan berbagai cara, terutama mengeksploitasi ibadah haji. Puncak ketegangan antar elit Makkah ini ditandai dengan adanya peristiwa hilf al-fudhul yang digagas Zubair untuk menghadapi arogansi sebagian pembesar Quraisy yang kerap kali membuat kezhaliman di tanah suci Makkah. Aliansi hilf al-fudhul ini telah bersepakat untuk mencegah dan mengatasi setiap bentuk kezaliman di tanah suci, tokoh-tokoh Quraisy yang tergabung berkomitmen untuk menjaga kehormatan Ka’bah.

Al-Fudhul sendiri berasal dari fadhl, yang secara harfiah berarti ‘sisa’, keutamaan, dan kehormatan. Dahulu kala hilf al-Fudhul dikenal sebagai hilf al-muthayyibin (aliansi para pengguna parfum), yang sudah ada sejak konflik internal suku Quraisy pasca ditinggal Qushay bin Kilab. Latar belakang klan yang tergabung dalam hilf, adalah gabungan keluarga bani Hasyim, bani Abdul Muthalib (putra Hasyim), Bani Asad bin Abdul ‘Uzza, Bani Zuhrah dan Bani Taim. Kala itu Muhammad SAW sendiri baru berusia sekitar 15 tahun. Kendati demikian, adanya aliansi itu tidak berarti menyelesaikan masalah internal Quraisy. Sudah terlanjur adanya persaingan ekonomi di kalangan mereka, lalu kebejatan akhlak dan moral karena nilai-nilai adat serta budaya jahiliyah. Konflik dan kerusakan yang ada di internal para pembesar Quraisy menimbulkan kerusakan nilai (value) secara masif bagi masyarakat Makkah. Itu juga yang menjadi sebab Rasulullah sering bertahanuts di gua hira tiga tahun sebelum turunnya wahyu. Tujuan beliau tidak lain memikiran problematika masalah internal Makkah.

Ilham Martasya’bana
Penggiat sejarah Islam dan Pemegang Ijazah Sanad Hadits Arbain An-Nawawi

Artikel Terkait

Back to top button