MASAIL FIQHIYAH

Suami Menyentuh Istri, Batalkah Wudhunya?

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarokatuh. Pak Kiai saya mau tanya, hukumnya wudhu kalau saya bersentuhan dengan istri baik sengaja atau tidak. Yang disengaja misalkan menepuk atau menyenggol, apakah batal?. Terima kasih.

Hamba Allah

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Dalam mazhab Syafi’i, menyentuh istri atau wanita ajnabiyyah (wanita asing/non mahram) yang dihasrati membatalkan wudhu tanpa membedakan apakah yang menyentuh laki-laki ataukah wanita, dengan syahwat ataukah tidak, disusul perasaan lezat ataukah biasa saja, sengaja ataukah kebetulan, dalam waktu lama ataukah sebentar, anggota tubuh yang bersentuhan adalah anggota tubuh yang digunakan untuk thoharoh ataukah tidak, anggota tubuhnya normal ataukah lumpuh, anggota tubuhnya tambahan ataukah asli.

Semuanya membatalkan wudhu selama terealisasi iltiqo’ al-basyarotain/ الْتِقَاءُ الْبَشَرَتَيْنِ (bertemuanya dua kulit) antara kulit laki-laki dengan kulit perempuan tanpa penghalang. Jika yang bersentuhan bukan termasuk definisi Basyaroh (kulit) misalnya gigi, kuku, dan rambut, maka persentuhan itu tidak membatalkan wudhu.

Dalil yang dipakai mazhab Syafii sebagai dasar dari ketentuan ini adalah firman Allah SWT; “Atau kalian menyentuh wanita” (An-Nisa’; 43)

Dalam madzhab Syafi’i, lafadz لاَمَسَ pada ayat di atas (qiroat lain tanpa alif; لَمَسَ), meskipun secara majazi (kiasan) bisa dimaknai jimak (berhubungan suami istri) namun pemaknaan lafadz tersebut dengan makna hakiki lebih dipilih dengan alasan tidak ada qorinah dalam ayat yang menunjukkan makna yang diambil adalah makna majazi. Dalil lain yang dipakai untuk menguatkan, dalam nash lain lafadz لَمَسَ juga dipakai untuk makna hakiki, yaitu sekedar persentuhan dua kulit. Misalnya ucapan Rasulullah Saw kepada Ma’iz dalam hadis riwayat Ahmad berikut ini;

Dari Ibnu ‘Abbas; bahwa Rasulullah Saw bersabda kepada Ma’iz bin Malik ketika dia datang dan menyatakan bahwa ia telah berzina: “Mungkin engkau hanya mencium atau menyentuhnya saja.” Ia berkata; “Tidak.” Beliau bertanya: “Apakah engkau menyetubuhinya?” ia menjawab; “Ya.” Maka beliau menyuruh untuk merajamnya. (H.R. Ahmad)

Ucapan Rasulullah Saw, “Mungkin engkau hanya mencium atau menyentuhnya saja.” Dimaknai bahwa persentuhan yang ditanyakan beliau adalah sentuhan kulit yang tidak sampai jimak.

Demikian pula hadis yang menyebutkan bahwa zina tangan adalah persentuhan. Imam Ahmad meriwayatkan; Dari Abu Hurairah, dia berkata; Bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Setiap anak cucu Adam jatuh kepada perbuatan zina, tidak mungkin tidak, maka mata zinanya adalah melihat, tangan zinanya adalah memegang, jiwa zinanya adalah berkeinginan, dan kemaluanlah yang akan membenarkannya atau mendustakannya.”

Imam An-Nawawi dalam kitabnya, Al-Majmu’, meringkas pokok-pokok pikiran pendapat madzhab Syafi’i dengan pernyataan beliau berikut ini;

“Jika dua kulit laki laki dan wanita asing/non Mahram yang dihasrati bertemu, maka batallah wudhu pihak yang menyentuh tanpa membedakan apakah yang menyentuh laki-laki atukah wanita, dan tanpa membedakan apakah persentuhan itu dengan syahwat atukah tidak, disusul rasa lezat atukah tidak, juga tidak membedakan apakah disengaja ataukah hal itu terjadi karena lupa maupun kebetulan, juga tidak membedakan apakah persentuhan itu berkelanjutan ataukah langsung dilepas setelah persentuhan dua kulit, juga tidak membedakan apakah persentuhan itu dengan anggota tubuh thoharoh atukah dengan anggota tubuh selainnya, juga tidak membedakan apakah yang disentuh atau anggota tubuh yang digunakan untuk menyentuh adalah anggota tubuh yang normal atukah lumpuh, tambahan ataukah asli… semuanya membatalkan wudhu menurut pendapat madzhab kami…” (Al-Majmu’, Syarah Al-Muhadz-dzab, vol;2, hlm 26)

Imam Abu Hanifah dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Diriwayatkan bahwa pendapat ini juga menjadi pendapat Ali, Ibnu Abbas, ‘Atho’, Thawus, Al-Hasan dan Masruq. Imam Ahmad dan Imam Malik berpendapat jika sentuhan itu disertai dengan syahwat, maka membatalkan wudhu, tetapi jika tanpa syahwat maka tidak membatalkan wudhu. Diriwayatkan bahwa pendapat ini juga menjadi pendapat ‘Alqomah, Abu ‘Ubaidah, An-Nakha’i, Al-Hakam, Hammad, Ats-Tsaury, Ishaq, dan As-Sya’by. Wallahu a’lam.

Artikel Terkait

Back to top button