SUARA PEMBACA

Tiket Pesawat Mahal: Jalan Terjal Mudik Lebaran

Mudik lebaran tahun ini menjadi beban ekonomi bagi masyarakat. Bagaimana tidak, tiket pesawat yang biasanya berbiaya murah berubah seketika. Harga tiket pesawat naik 12 kali lipat. Bahkan memakan biaya belasan hingga puluhan juta sekadar perjalanan antar kota dalam negeri. Luar biasa. Naiknya harga tiket pesawat yang melonjak tinggi serta adanya biaya bagasi dengan batas berat tertentu membuat orang berpikir ulang menggunakan trasnportasi udara tersebut.

Apa daya masyarakat terpaksa gigit jari. Harapan berkumpul keluarga dengan cepat dan murah tak lagi dirasakan. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menjelaskan salah satu penyebab harga tiket pesawat yang mahal. Menurutnya, maskapai penerbangan masih enggan menurunkan harga tiket agar bisnisnya tetap berjalan baik. (liputan6.com, 30/5/2019).

Bak gayung bersambut. Di saat harga tiket pesawat melangit, Jokowi justru mengeluarkan wacana mendatangkan maskapai asing untuk bersaing di Indonesia. Tujuannya, agar tiket pesawat segera turun. Wacana tersebut sejalan dengan pernyataan Jokowi yanng akan mengundang maskapai-maskapai asing baru untuk membuka rute domestik. Tujuannya agar konsumen memiliki banyak pilihan. Menhub pun bakal mengkaji usulan Jokowi tersebut.

Entah kebetulan atau tidak, wacana itu seolah menyiratkan bahwa mahalnya harga tiket pesawat hanyalah taktik agar asing lebih leluasa menanamkan investasinya dalam bidang penerbangan. Maskapai dalam negeri dibuat bersaing dengan asing. Menhub mengatakan tiket mahal menemui jalan buntu dalam penyelesaiannya. Namun, begitu mudah menyambut usulan Presiden untuk datangkan maskapai asing agar tiket pesawat tak lagi mahal.

Benar-benar ironi. Apakah setiap problem negeri ini hanya bisa diselesaikan dengan mendatangkan asing untuk memainkan perannya di segala bidang? Gempuran impor pangan dan barang dari Cina saja sudah membuat pedagang domestik lesu. Jargon “Cintailah produk Indonesia” hanyalah menjadi slogan kosong yang tak berarti. Berganti menjadi “Cinailah produk Indonesia”.

Begini memang karakter ekonomi kapitalis. Siapa berani dan berduit, boleh saja menguasai perekonomian. Di masa pemerintahan Jokowi liberalisasi ekonomi semakin menganga dan tak terkendali. Aset strategis ditawar kemana-mana. Indonesia makin tak berdaya di hadapan kapitalis besar.

Jika negeri ini diatur berdasarkan aturan Islam, tentu berbeda ceritanya. Pemimpin bukanlah pelayan asing. Kehadirannya bukan untuk menyenangkan kaum kapital. Pemimpin adalah pelayan rakyat. Ia dipilih untuk mengurusi urusan rakyat. Ia diberi mandat agar memenuhi kebutuhan rakyat. Semoga Allah segerakan pemimpin amanah yang menerapkan syariat. Pemimpin yang senantiasa mengingat bahwa kepemimpinannya akan menjadi hisab yang amat berat tatkala ia berlaku zalim. Menjadi pahala terbesar manakala ia adil.

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Artikel Terkait

Back to top button