SUARA PEMBACA

Wisata Halal, Mencari Berkah Atau Demi Rupiah?

Banyaknya kunjungan wisatawan mancanegara dari Timur tengah dan Malaysia ke Kabupaten Bandung, mendorong Kabid. Pengembangan Destinasi Wisata Kabupaten Bandung untuk mengembangkan destinasi wisata yang ramah bagi muslim. Salah satu diantaranya memasukkan agenda pariwisata halal ke peraturan daerah rencana induk pembangunan pariwisata Kab. Bandung.

Di antara destinasi wisata halal yang direncanakan adalah Pasirjambu, Ciwidey, Rancabali, Cileunyi, Cimenyan dan Cilengkrang. Wisata halal dimaksud adalah memberikan jaminan konsumen muslim untuk nyaman beribadah. Menurut Kabid Pengembangan Destinasi Wisata Kab. Bandung Yoharman Syamsu indikator nyaman beribadah adalah tempat shalat lebih besar, adanya petunjuk kiblat, dan label halal produk.

Untuk mewujudkan destinasi wisata halal ini pemkab. Bandung menggaet dosen UIN yang telah menginisiasi pembentukan ekowisata halal di wilayah Indragiri, Rancabali.

Keinginan Pemkab Bandung untuk mewujudkan destinasi wisata halal patut di apresiasi. Sebab kewajiban Pemerintah adalah menjaga rakyatnya atau siapapun yang datang ke wilayahnya agar terselematkan dari hal-hal yang haram dan dilarang oleh Allah SWT.

Meski demikian perlu ada tinjauan kritis terhadap konsep wisata halal ini, agar halal yang dimaksud benar-benar sesuai dengan konsep Islam.

Tak bisa dipungkiri konsep wisata halal yang ditawarkan pemkab, belum sepenuhnya berpijak pada acuan syariat, tapi masih sebatas memanfaatkan kata halal demi kepentingan ekonomi.

Seiring gencarnya opini tentang toleransi, membuat sebagian kaum muslimin menolak istilah-istilah yang berasal dari syariat islam. Istilah wisata halal misalnya, ditolak oleh sebagian masyarakat karena khawatir terjadi “syariatisasi” di sektor pariwisata. Ironi negeri muslim terbesar di dunia tapi menolak konsep Islam.

Alih-alih meluruskan pemahaman masyarakat yang keliru, pakar yang berasal dari Universitas Islam justru memberikan gambaran yang mengaburkan konsep wisata halal ini.

Wisata halal yang mereka maksud adalah sebuah layanan wisata prima dan bersahabat terhadap wisatawan muslim (Muslim Friendly). “Wisata halal tidak bertentangan apalagi menghilangkan kearifan lokal, malah diyakini bakal mampu meningkatkan taraf perekonomian rakyat” (86News.co)

Muslim friendly ini berarti tersedianya fasilitas dan tertatanya pariwisata yang ramah dengan umat muslim seperti menyediakan tempat sholat, pemisahan dan pengadaan makanan halal, meski makanan yang haram tetap ada di tempat tersebut.

Tujuan dari penerapan konsep wisata halal ini sendiri tidak lain adalah untuk menjaring wisatawan dari negara-negara Timur Tengah dan Negara muslim lainnya yang jumlahnya terlalu signifikan untuk diabaikan. Jumlah tersebut adalah potensi yang menggiurkan di sektor pariwisata.

Disinilah persoalannya. Dalam Islam halal dan haram adalah tolok ukur perbuatan seorang muslim. Dengan tolok ukur halam haram ini kehidupan seorang muslim akan diliputi keberkahan dari Allah SWT.

Berwisata bagi seorang muslim hukumnya mubah alias halal. Dari sisi destinasi wisata, menjadi kewajiban negara untuk memastikan bahwa obyek wisata yang hendak dikunjungi wisatawan benar-benar halal. Artinya, negara atau Pemda tidak boleh menfasilitasi berkembangnya tempat-tempat wisata yang mengandung kemusyrikan, meski dengan dalih budaya lokal. Semisal upacara adat melarung (membuang) makanan dan hasil-hasil pertanian ke laut atau sungai yang diringi dengan tarian dan beragam ritual yang menghidupak kemusyrikan.

Negara juga harus membuat regulasi yang menjamin, Pertama, penyediaan fasilitas ibadah yang memadahi, agar dimanapun seorang muslim berada akan mudah menunaikan kewajiban sholat yang memang menjadi kewajibannya.

Kedua, memastikan seluruh tempat wisata terbebas dari makanan dan minuman haram. Bukan sekedar memberikan label halal pada produk tertentu dan membiarkan produk haram tetap ada.

Ketiga, memastikan bahwa tempat wisata bukanlah tempat berbuat mesum, tempat perzinahan. Negara tidak boleh membiarkan terbukanya pintu kemaksiatan melalui sektor pariwisata.

Meski pariwisata bisa menjadi salah satu sumber devisa, tapi pariwisata bukan sumber utama perekonomian negara. Karena Islam telah menetapkan sumber-sumber perekonomian yang bersifat tetap. Sumber tersebut adalah pertanian, perdagangan, industri dan jasa yang halal.

Ini tentu berbeda jika sebuah negara menjadikan pariwisata sebagai sumber perekonomiannya. Maka apapun akan dilakukan demi kepentingan ekonomi dan bisnis. Meski untuk itu harus mentolerir berkembangnya berbagai kemaksiatan. Wallahu a’lam bishshowaab.

Irianti Aminatun

Artikel Terkait

Back to top button