SUARA PEMBACA

Tema Lomba BPIP Produk Islamofobia Akut

Lagi-lagi negara bikin gempar di tengah pandemi. Pasalnya BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) membuat lomba dengan tema yang sangat kontroversi yakni “Hormat Bendera Menurut Hukum Islam” dan “Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam”.

Tak tanggung-tanggung hadiah dari lomba ini bisa dibilang cukup besar yakni total 50 juta rupiah. Tema lomba ini menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, mulai dari MUI, anggota DPR hingga menggegerkan dunia pertwitteran.

Salah satu kritik berasal dari Ketua Fraksi PKS DPR RI, Jazuli Juwaini. Menurutnya tema dari lomba tersebut sangat tendensius, BPIP seolah ingin membenturkan antara aturan agama Islam dengan negara. Beliau juga meminta untuk dibatalkan saja lombanya, atau menggantinya dengan tema yang lebih visioner dan substansif. (tempo.co 15/08/2021)

Tak hanya itu, MUI juga ikut angkat suara mengenai lomba ini. Dilansir dari www.cnnindonesia.com (15/08), Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis mengkritik bahwa lomba ini menunjukkan bahwa negara kehilangan arahnya dan tak paham tentang nasionalisme karena menimbulkan pelbagai kegaduhan.

Lantaran kritik ini, Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP, Benny Susetyo, mengklarifikasi bahwa tema yang diangkat ini bukan untuk memperkeruh suasana atau pun membenturkan antara Pancasila dan Islam. Tema ini disesuaikan dalam rangka Peringatan Hari Santri Nasional 2021.

Bentuk Islamofobia Tingkat Akut

Terlepas dari pro dan kontra yang ada jelas terlihat sekali bahwa pemikiran para anggota BPIP sangatlah dangkal.

Pertama, sebelum sebelum sebuah tema disusun pastilah ada proses panjang penyusunannya. Melihat tema yang dihasilkan akan muncul banyak sekali pertanyaan apa tujuan sebenarnya yang ingin dicapai dari tema ini. Karena tema ini dirasa seolah menyudutkan Islam.

Kedua, jika lomba ini diadakan untuk para santri maka bukan kapasitas seorang santri untuk menggali hukum. Karena dalam Islam penggalian hukum wajib dilakukan oleh seorang mujtahid. Sedangkan untuk menjadi seorang mujtahid haruslah memenuhi berbagai persyaratan khusus hingga dia mampu untuk menggali hukum. Sedangkan seorang santri sangat jauh dari kata layak untuk menggali sebuah hukum karena mereka dalam proses belajar tentang dasar-dasar hukum Islam.

Dari sini jelas sekali bahwa BPIP tidak paham dengan Islam dan proses didalamnya. Justru jika tema ini tetap dilanjutkan maka akan menimbulkan bahaya karena salahnya pemahaman masyarakat tentang hukum Islam yang digali oleh orang-orang yang tidak kompeten.

Jadi jika alasan BPIP adalah menyesuaikan dengan peringatan Hari Santri Nasional, jelas hal ini sangat tidak masuk akal dan berasal dari pemikiran yang sangat dangkal. Bahkan jelas nampak bahwa mereka menganggap bahwa Islam adalah ancaman sehingga ada upaya untuk membenturkan hukum Islam dengan Pancasila secara gamblang.

Pemikiran seperti ini jelas merupakan buah dari ideologi yang diterapkan dalam negeri ini, yakni ideologi kapitalisme. Kapitalisme yang dicetuskan oleh Adam Smith ini memiliki dasar pemikiran sekulerisme, yakni pemisahan antara agama dengan kehidupan. Bila kita melihat sejarah terbentuknya kapitalisme akan terlihat semangat kaum filsuf dan para cendekiawan dalam memisahkan aturan gereja yang dipakai sebagai aturan kerajaan.

Islamofobia di negeri ini jelas sudah mencapai tingkat akut. Pasal demi pasal, aturan demi aturan acap kali menyudutkan Islam dan pemeluknya. Sudah saatnya kita mengakhiri doktrin sesat ini. Karena Islam sejatinya bukanlah pemecah belah, namun justru Islam adalah pembawa rahmah. Wallahu a’lam bishsawab.

Ummu Bisyarah

Artikel Terkait

Back to top button