SUARA PEMBACA

Tiga Dosa Besar Pendidikan, Intoleran Hakiki

Dilansir Tribunnews.com, 8 Mei 2021, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mengatakan pihaknya bertekad menghilangkan tiga dosa besar di dunia pendidikan, ketiganya tidak boleh lagi terjadi di Indonesia.

Dosa besar pendidikan itu adalah intoleransi, perundungan dan kekerasan seksual. ” Ungkap Nadiem dalam “Webinar Puasa, Kemanusiaan, dan Toleransi,” pada Sabtu, 8 Mei 2021.

Nadiem mengatakan essensi dari merdeka belajar adalah jika peserta didik dan pendidik di seluruh Indonesia belajar dengan merdeka tanpa paksaan dan tekanan. Maka pendidikan harus bebas dari intoleransi, sehingga nalar menjadi kritis dan inovasi dapat dikembangkan.

Sekali lagi yang Nadiem tekankan bahwa  semua orang punya hak yang sama dalam beragama, belajar dan berkarya. Inilah pula perlunya ditanamkan dalam benak  rasa cinta terhadap perbedaan. “Oleh karena itu, mari bersama-sama mewujudkan Indonesia yang bebas dari intoleransi yang akan mengakselerasi kemajuan bangsa kita,” pungkas Nadiem (Tribunnews.com, 8/5/2021).

Sungguh sangat disayangkan, alih-alih konsen kepada pendidikan Indonesia, Menteri Nadiem seolah dibutakan oleh fakta yang begitu kontradiktif di masyarakat. Semua bermula dari lisan penguasa dan para pejabatnya. Untuk satu persoalan saja , semua pihak berbicara seolah dialah yang ahli hingga rakyat tak mendapatkan pegangan informasi yang tepat.

Contoh, untuk pencegahan munculnya kluster baru Covid-19, rakyat diminta Hari raya Idul Fitri tahun ini untuk tidak mudik. Namun di sisi lain, justru memberi izin masuk TKA Cina dan warga India yang disinyalir positif virus Corona varian terbaru. Contoh lain, agar merdeka belajar ini sukses dan agar dosa besar pendidikan tak lagi terjadi maka harus ditanamkan “cinta perbedaan”. Namun mengapa jika ada pelajar Muslimah hendak taat dengan syariat agamanya justru dilarang?

Bukankah Islam dengan agama yang lain sudah berbeda sejak awal, pendapat bahwa semua agama sama adalah menyesatkan. Agama lain tak ada syariat, yaitu seperangkat aturan yang digunakan untuk memecahkan persoalan umat-nya. Yang tersirat dari perkataan Nadiem justru memojokkan Islam seakan bukan agama yang layak. Islamlah yang menciptakan intoleransi. Masih banyak lagi potret ketidak adilan di negeri ini atas nama intoleransi.

Pendidikan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia, apapun ras, suku, budaya, adat istiadat, agama maupun bahasanya.  Sebab dengan pendidikan, sebuah peradaban akan terpelihara keberadaannya, kecanggihan teknologi dan perubahan dampaknya akan bisa diterapkan tanpa halangan berarti jika rakyat paham apa persoalan yang terjadi. Disebabkan adanya edukasi (pendidikan).

Maka, kewajiban mencerdaskan umat ada pada negara, sebab negaralah yang paling kuat dan besar dalam memiliki sarana dan prasarana penunjang pendidikan yang berkualitas. Demikian pula terkait dengan kurikulum pendidikan, maka negara tak akan gegabah, asal ambil kebijakan tanpa berpikir panjang apakah ide tentang perubahan kebijakan ini berasal dari kelemahan manusia atau dari syariat yang mulia.

Maka, ketiga dosa pendidikan tidak bisa kemudian dinisbatkan kepada ketiadaan cinta terhadap perbedaan. Justru yang terjadi adalah perangkap kebebasan atas nama perbedaan  itu sendiri,  dengan seenaknya menghargai  perbedaan dimaknakan: ketidak inginkan untuk diatur agama dalam kehidupannya. Bahkan jangan bicara Islam. Jangan gunakan Islam dalam pendidikan, pergaulan bahkan dalam keputusan penting bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pendidikan hari ini yang hampir-hampir meniadakan agama (Islam) sebagai pondasi pendidikan,  telah sukses memproduksi output siswa didik dan tenaga pendidik praghmatis, egois, bebas dan tak tahu essensi mereka untuk apa hidup, kemana setelah mati dan ada apa saat setelah mati. Mereka tak berat untuk melakukan perzinahan dan semua tindakan yang dilarang dalam Islam, meskipun mereka Muslim.

Rasulullah bersabda,”Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Artinya, Imam/penguasa adalah satu-satunya pihak yang paling bertanggujawab atas nasib rakyatnya, lapar hausnya, rasa amannya, pendidikannya dan semua yang dibutuhkan dalam kehidupan.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button