SUARA PEMBACA

Untuk Apa Khatib Harus Bersertifikat?

Wapres Ma’ruf Amin kembali menyuarakan tentang sertifikasi khatib. Hal tersebut disampaikannya ketika membuka acara Rakernas dan Halaqah Khatib se-Indonesia di Istana Wakil Presiden, Jakarta Pusat (kumparan.com, 14/02/2020).

“Khatib itu omongannya betul-betul harus membawa kemaslahatan. Makanya perlu ada sertifikasi khatib, yang bacaannya benar, komitmennya benar, diberi sertifikat” kata Ma’ruf Amin. Dirinci lagi oleh Ma’ruf, bahwa khatib harus memiliki pemahaman agama yang benar, baik dari sisi lafaz maupun pemaknaan ayat Al-Qur’an.

Kriteria selanjutnya yang disampaikan oleh Wapres. Khatib harus memiliki komitmen kebangsaan di tengah merebaknya ajaran-ajaran radikal di kalangan umat Islam. Nilai-nilai Pancasila dan prinsip NKRI, harus disampaikan saat ceramah. Wapres meminta para khatib berkomitmen untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan mengajak umat Islam meningkatkan toleransi.

Turut hadir pada acara tersebut, Suhardi Alius, kepala BNPT. Wapres memintanya bekerja sama dan memanfaatkan para khatib untuk menyebarkan narasi kerukunan di tengah masyarakat. Sukardi diharapkan bisa menekan pengaruh radikalisme dari isi ceramah khatib.

“Dakwah kita harus dalam bingkai kebangsaan dan kenegaraan. Pancasila dan NKRI itu adalah kesepakatan. Oleh karena itu, kita tidak boleh membawa sistem lain selain NKRI, gaduh, saya terus terang saja misalnya khilafah”, kata Wapres. Diakuinya, Khilafah memang Islami, tapi menyalahi kesepakatan pendiri bangsa, jadi khilafah tertolak di Indonesia.

Ada beberapa pertanyaan yang akhirnya mengemuka. Pertama, soal khatib harus membawa kemaslahatan. Kemaslahatan seperti apa yang dimaksud? Apakah ketika khatib menyampaikan tentang haramnya riba maka ia telah anti kemaslahatan. Karena dalam sistem kapitalisme, riba itu mendatangkan manfaat.

Kedua, soal toleransi. Apakah umat Islam ini intoleran? Sebagai mayoritas, dengan persentase 88% dari jumlah penduduk Indonesia, umat muslim tentu bisa lakukan apapun. Andai umat muslim intoleran, Indonesia sudah bubar sesaat setelah merdeka. Umat agama lain tentu takkan tenang hidupnya, bahkan terusir dari negeri ini.

Nyatanya, umat muslim selalu menjadi bulan-bulanan. Atas nama toleransi, umat muslim dipaksa diam ketika dizalimi. Masjidnya dibakar, umat muslim diminta bersabar. Allah, Al-Qur’an, dan nabinya dihina, umat muslim diminta memaafkan si penghina. Mau berkumpul, bersilahukhuwah dalam acara 212, dinyinyirin dan dihalang-halangi. Jadi, siapa yang intoleran?

Ketiga, soal radikalisme. Apakah radikalisme itu nyata ada pada umat Islam? Hingga saat ini, tak pernah didefinisikan dengan jelas apa itu radikalisme. Jika menengok kata radikalisme di KBBI, radikalisme adalah paham atau perubahan yang menginginkan perubahan atau pembaharuan dalam sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Pertanyaannya, adakah yang seperti itu di Indonesia? Jika ada, tentu kita tak bisa beraktivitas seperti biasa karena adanya pemberontakan yang dapat mengancam nyawa.

Lebih lanjut, isu radikalisme ini terus digoreng dan disuguhkan ke rakyat hingga basi. Dilafazkan pemerintah secara berulang-ulang laksana mantra di setiap kesempatan berbicara di depan publik. Seolah-olah ini adalah masalah yang sangat besar hingga kita semua harus menjadikannya musuh bersama.

Padahal keimajineran radikalisme sebagai musuh sama halnya dengan perang melawan terorisme yang diwacanakan oleh Amerika. Justru Amerikalah sebagai teroris bagi dunia. AS berperan dalam pembantaian rakyat Palestina, penghancuran kota Irak, perang saudara di Suriah dan Yaman. Setali tiga uang, Dengan mewacanakan perang melawan terorisme, dunia tak sempat berpikir: Who is the real terorist?

Sama dengan isu radikalisme. Dengan menjadikan radikalisme sebagai musuh bersama, rakyat dibuat buta tuli dari praktek korupsi pejabat. Justru korupsi inilah yang bisa menghancurkan negeri kita. Buruknya pelayanan publik karena dananya dikorupsi. Menambah utang luar negeri yang sedianya untuk mencukupi anggaran mengelola negeri, ternyata dikorupsi juga. Jadi, adakah radikalisme? Yang ada adalah koruptor yang radikal.

Keempat, soal khilafah. Benarkah ide khilafah membuat gaduh? Benarkah tertolak di Indonesia? Cyrus network mengadakan survei terkait isu agama dan sosial yang terjadi di Indonesia. Hasilnya, 13.1% responden menginginkan syariat Islam diterapkan di Indonesia (tirto.id, 09/08/2019). Hasil ini termasuk besar, hampir 1/5 dari persentase umat muslim Indonesia.

Dan satu-satunya sistem yang mau menerapkan syariat Islam adalah khilafah. Dengan menerapkan syariat Islam, jaminan keberkahan dan kesejahteraan telah bergaransi langsung oleh Allah Swt., Sang Maha Pencipta. Praktik maksiat, seperti ingkar janji, curang, culas bahkan balik badannya penguasa terhadap urusan rakyat, diminimalisir hingga ke angka nol, dengan tiga pilar. Yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan sistem sanksi dalam Islam yang tegas.

Jika demikian adanya khilafah, maka siapa yang merasa gaduh dengan ide Khilafah? Benar kiranya dalam acara Laporan Utama TvOne yang bertajuk “Siapa resah soal khilafah?” yang tayang pada tanggal 18 Desember 2019 lalu. Tidak ada keresahan di masyarakat, dari hasil wawancara TvOne. Tema ini diangkat sebagai reaksi dari manuver Kemenag yang ingin menghapus Khilafah dan jihad dari kurikulum madrasah. Berkat reaksi masyarakat, Bab Khilafah dan Jihad tak jadi dihapuskan, hanya dipindah dari materi fikih ke sejarah. Lihat, siapa yang resah dan gaduh?

Jadi, upaya khatib bersitifikat bisa sangat melukai hati umat Islam. Dakwah Islam dalam mimbar Jumat seharusnya menyampaikan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Dengan standar benar dan salah adalah dari Allah Swt. Sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Wallahu a’lam.

Mahrita Julia Hapsari, M.Pd
Pegiat Literasi

Artikel Terkait

Back to top button