SUARA PEMBACA

Pemilu 2019: Bukti Bobroknya Demokrasi

Hajatan pemilu 2019 menyisakan PR besar untuk semua. Baik penyelenggara, kontestan, maupun rakyat. Bukan bergembira, malah mengundang bencana politik yang tak berkesudahan. Diantaranya, kisruh hasil penghitungan versi quick count dan real count. Belum lagi isu kecurangan dinilai TSMB, terstruktur, sistematis, masif dan brutal. Hal ini membuat pesta demokrasi ternoda dengan banyaknya kecurangan.

Tak hanya itu, amburadulnya administrasi pemilu 2019 juga menjadi sorotan publik. Geger pertama terjadi di Malaysia. Surat suara sudah tercoblos untuk 01. Disusul kemudian pembakaran kertas suara, pencurian formulir C1 hingga salah input data yang berulang oleh KPU. Faktor kelelahan petugas menjadi alasan human eror tersebut.

Meski gelaran pesta rakyat telah usai, tapi pelaksanaannya dianggap yang terburuk sejak era reformasi. Hal itu diungkapkan oleh mantan komisioner KPK, Bambang Widjajanto di acara diskusi bertema ‘Selamatkan Suara Rakyat’ di kawasan SCBD, Jakarta, Minggu (21/4/2019) seperti dilansir suarasurabaya.net (22/04/2019). “Begitu banyak fakta kecurangan terjadi hampir seantero nusantara. Kualitas pemilu ditentukan oleh kejujuran, bukan kerahasiaan,” kata dia. Kecacatan selama pelaksanaan pemilu 2019 memang sangat terasa. Dari pra, hari H hingga pasca pemilu digelar.

Pertama, pra pemilu. Pemilu 2019 adalah pemilu serentak pertama di Indonesia sepanjang sejarah. Selain memilih presiden dan wakil presiden, rakyat secara serentak juga memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Bisa dikatakan, inilah hajatan terakbar sepanjang pemilu terlaksana. Juga menjadi pengalaman pertama bagi panitia, peserta, dan rakyat Indonesia. Berbiaya besar dan menguras tenaga. Tak ayal, pemilu serentak mengakibatkan korban berjatuhan. Sebanyak 144 petugas KKPS meninggal, 883 sakit saat bertugas. Waktu bekerja mereka bahkan melebihi 24 jam. Parahnya, ada pula yang honornya belum dibayar.

Hal lain yang disorot adalah kotak suara kardus. Sejak dipublikasi sudah mengundang pro dan kontra. Masyarakat meragukan keamanan kotak suara kardus. Namun, KPU meyakinkan bahwa kotak kardus sama kuatnya dengan aluminium. Lantas, apa yang terjadi? Kotak suara kardus justru rentan dicurangi dan memakan biaya lebih tinggi. Mudah dibawa kemana-mana malah rentan dicuri. Mudah terbakar, mudah dibuka meski kuncinya gembok besi, dan tidak tahan lama. Bisa dimakan rayap atau hancur karena banjir. Artinya, kardus yang bersifat sekali dua kali pakai menambah boros anggaran dan tak aman.

Kedua, hari H. Secara umum, pelaksanaan pemilu di hari H berlangsung aman. Tak terjadi konflik horizontal di tengah masyarakat. Antusiasme rakyat justru meningkat. Namun beberapa wilayah di Indonesia justru tidak bisa mencoblos di hari H karena terkendala logistik pemilu belum tersedia. Alhasil, beberapa wilayah melakukan pencoblosan susulan.

Yang bermasalah justru pelaksanaan pemilu di luar negeri. Antrian panjang hingga malam hari menjadi salah satu bukti bahwa pelaksanaan pemilu cacat sejak digelar. Kurang antisipasi dan belum siap.

Ketiga, pasca pemilu. Keburukan-keburukan pemilu mulai mengemuka sejak perilisan hasil quick count mayoritas memenangkan paslon 01. Gonjang ganjing pun tak terelekkan. Rakyat mulai lakukan pengawasan pada para wasit pemilu. Kesalahan input data C1 ke situng KPU juga diprotes masyarakat. Anehnya, salah input bukan terjadi sekali tapi beberapa kali dengan pola yang sama. Suara untuk 01 menggelembung sementara suara 02 menyusut. Penghitungan ulang juga terjadi di beberapa TPS. Karena terindikasi ada penggelembungan suara dan lagi-lagi salah input data. Seperti yang terjadi di Surabaya dan 56 TPS di kabupaten Malang.

Pemilu 2019 yang digadang-gadang lebih baik dari pemilu sebelumnya faktanya tak sesuai harapan. Kekacauan pelaksanaan hingga indikasi kecurangan masif menjadi pukulan telak bagi demokrasi. Demokrasi yang diyakini sebagai sistem terbaik ternyata tak cukup ampuh mengatasi kecacatannya.

Suara rakyat dimanipulasi untuk kepentingan sesaat. Suara rakyat gampang ditipu untuk tampuk kekuasaan. Culas dan curang adalah lumrah dalam demokrasi. Keadilan dalam demokrasi merupakan kemuskilan nyata. Sebab, keadilan pun bisa dibeli tatkala hal itu menghambat kemenangan.

Pemilu berbasis demokrasi memang bikin pilu. Bikin lelah dan mahal ongkosnya. Belum lagi, suara rakyat bisa dibeli seharga sembako dan amplop seratus ribu. Membabat politik uang dalam demokrasi seperti menegakkan benang basah. Susah obatnya karena penyakitnya sudah mengakar dari sononya, yakni sistem demokrasinya. Masih perlu bukti lagi?

Kita nanti saat 22 Mei, siapa pemenangnya. Sejatinya itu bukanlah pemenang sejati. Sebab kemenangannya ternodai dengan berbagai manipulasi. Kemenangan bukan untuk rakyat tapi bagi politisi. Tatkala menjabat, kebanyakan lupa diri. Begitulah demokrasi. Pemilu jujur dan adil hanya bisa terjadi jika sistem Islam dibumikan kembali. Negara dikelola dengan aturan Sang Pencipta. Syariat Allah yang mulia menjadi panduan kehidupan. Manakala ada kecurangan dan keculasan, sistem Islam memiliki perangkat sistem sanksi yang tegas dan berefek jera bagi para pelakunya.

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Artikel Terkait

Back to top button