TELADAN

Pemilu dan Syahwat Kekuasaan

Menjelang Pemilu 2019 mendatang, para paslon Capres dan Cawapres sudah mulai mengatur strategi masing-masing guna menjaring sebanyak-banyaknya suara.

Baru-baru ini telah menjadi viral di media sosial sebuah kertas putih yang berisi tulisan tangan Capres Jokowi dan bertanda tangan Presiden Joko Widodo (Nusantaranews.co, 26 Maret 2019). Di dalamnya Jokowi mengajak warga untuk memilih calon presiden yang mengenakan baju putih pada pelaksanaan Pemilu, 17 April 2019. Bahkan mengarahkan agar pemilih memakai baju putih. Jika dipandang sebagai sebuah strategi, tentunya hal itu dianggap biasa-biasa saja.

Hanya saja prinsip Pemilu di Indonesia menganut asas LUBER, yakni Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia. Tentunya kertas berisi tulisan Jokowi tersebut menimbulkan persoalan. Seorang penguasa yang masih aktif ketika mengintervensi suara dan hak pilih, hanya akan menunjukkan akan ambisinya berkuasa. Di samping berpotensi untuk melanggar asas Pemilu yang Luber.

Ambisi kekuasaan akan berpotensi menghilangkan akal sehatnya. Ia akan menjadi sosok yang tidak malu untuk meminta kekuasaan. Lebih dari itu akan mengeraskan hati untuk menerima sebuah kebenaran. Kebenaran akan batas kemampuannya. Ia tidak akan bisa mengukur dirinya, padahal ia tidak memiliki kecakapan sebagai pemimpin.

Di dalam Islam sendiri, terdapat larangan meminta jabatan bagi orang-orang yang lemah. Sahabat Abu Dzar al-Ghifary ra, beliau adalah sahabat yang lemah untuk memangku jabatan. Rasul SAW bersabda kepadanya yang artinya: “ Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu adalah seorang yang lemah. Sesungguhnya jabatan adalah amanat. Sesungguhnya pada hari kiamat, jabatan adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan kewajibannya di dalamnya”.

Walaupun juga dibolehkan oleh Islam meminta jabatan, asalkan memang memiliki kemampuan di dalamnya. Adalah peristiwa Saqifah bani Saidah, di dalamnya antara Sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq dengan Sa’ad bin Ubadah saling beradu argumen dan keutamaan masing-masing. Semua orang yang hadir dalam forum itu tidak mengingkari keduanya akan keutamaan-keutamaan yang dimilikinya. Hingga terpilihlah sahabat Abu Bakar ash Shidiq ra sebagai pemimpin pengganti Rasul Saw.

Dari fragmen tersebut terlihat bahwa adu argumentasi dan gagasan hanya terjadi di dalam forum khusus untuk memilih pemimpin. Di samping bahwa pilihan itu berdasarkan kepada kerelaan bukan pemaksaan.

Adalah Abdurrahman bin Auf ra tidak mengetahui suara mayoritas umat Islam di Madinah. Calon pemimpin yang bersedia adalah sahabat Utsman ra dan Ali bin Abi Thalib ra. Beliau berkeliling door to door guna mengetahui pilihan umat waktu itu. Hingga dikantonginya suara mayoritas umat yang memilih Utsman bin Affan sebagai pemimpin mereka. Walhasil sahabat Ustman bin Affan ra pun dibaiat sebagai Khalifah sepeninggal Umar bin Khathab ra.

Jadi di dalam penentuan seorang pemimpin betul-betul suara pemilih dalam hal ini rakyat bersifat obyektif. Satu-satunya hal yang menentukan dalam diri seorang pemimpin adalah kredibilitasnya. Rakyat sudah bisa dan mampu menilai sejauh mana kredibilitas seseorang dalam kelayakannya memimpin. Apalagi jika salah satu calon pernah menjalankan roda pemerintahannya. Akan terlihat nyata integritasnya selama ini.

Tinggal satu persoalan yakni ketersediaan sistem pemilihan yang mampu menjamin adanya kejujuran dan kredibilitas pemimpin. Islam telah memberikan panduan yang jelas dan terperinci. Seorang calon pemimpin harus mempunyai syarat-syarat baku sehingga ia layak untuk memimpin. Di antaranya Islam, laki-laki, akil baligh, adil dan mampu mengemban amanah kepemimpinan.

Merupakan hal yang wajar bila seorang muslim hanya akan memilih pemimpin yang muslim. Apalagi Indonesia adalah negeri yang mayoritas rakyatnya notabenenya adalah muslim. Terkait akil baligh, tentunya akal yang sehat yang bisa dijadikan sandaran tanggung jawab kepemimpinan. Adil terkait dengan hukum yang diterapkannya tidak tebang pilih. Dan seorang pemimpin harus memiliki kecakapan kepemimpinan baik dari segi akal maupun kejiwaannya.

Faktor yang paling menentukan adalah rakyat pemilih memiliki bekal ketakwaan. Ketakwaan individu rakyat inilah yang akan menentukan kualitas seorang pemimpin. Mereka hanya akan memilih seorang pemimpin yang bertakwa dan yang bisa membimbing rakyatnya agar taat menjalankan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua laranganNya. Hanya di dalam sistem Islam, akan terpilih seorang pemimpin yang betul – betul mencintai dan dicintai rakyatnya, yang mendoakan dan didoakan oleh rakyatnya. Seorang Khalifah yang akan membimbing rakyatnya untuk bahu membahu mewujudkan sebuah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berada dalam kerahmatan.

Ainul Mizan
Guru, tinggal di Malang

Artikel Terkait

Back to top button