#2019GantiPresiden, Sudah Benar Itu!
Solusi gampangan
Kembali ke soal kian beratnya beban hidup, rakyat merasakan benar dalam tiap denyut nadinya. So, jangan minta rakyat menyodorkan angka dan data. Rakyat tidak paham data dan angka. Perkara angka dan data, itu domain para peneliti dan ekonom. Jangan pula minta rakyat berhenti mengeluh, karena itu memang yang mereka rasakan. Penguasa juga jangan asal njeplak dengan solusi-solusi gampangan. Daging mahal, makan bekicot; cabe mahal, tanam sendiri; beras mahal, silakan diet.
Dan, yang paling penting, jangan pernah berkata kepada rakyat, “kalau mengritik harus beri solusi.” Rakyat sudah terlampau sibuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Waktu, tenaga, pikiran, dan segala sumber daya yang ada sudah habis untuk menyiasati agar bisa besok tetap bernafas di tengah himpitan beban hidup yang kian menggencet. Mereka tidak punya waktu lagi untuk memikirkan solusi-solusi.
Lagi pula, yang jadi penguasa kan bukan rakyat. Yang mendapat gaji dan fasilitas berlimpah kan pejabat. Yang bergelar profesor doktor kan para birokrat. Nah, mestinya, gunakanlah semua itu untuk berpikir cerdas dan bekerja ekstra keras guna mensejahterakan rakyat.
Para pendukung (dan penjilat) Presiden selalu menyodorkan gegap-gempita pembangunan infrastruktur sebagai prestasi Jokowi. Pembuatan jalan tol, pelabuhan, dan bandara adalah nyanyian yang yang terus-menerus diulang-ulang. Mereka tidak peduli bagaimana dan dari mana dana yang digunakan untuk membangun itu semua diperoleh.
Padahal, kalau soal membangun jalan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1808-1811) Herman Willem Daendels terbukti sukses membangun jalan Anyer-Panarukan yang panjangnya mencapai seribu kilometer. Membangun pelabuhan pun dilakukan Belanda. Warisannya di antaranya pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, pelabuhan Tanjung Mas di Semarang, dan pelabuuhan Belawan di Sumatera Utara. Kalau bandara, Belanda meninggalkan Kemayoran dan Halim Perdanakusuma.
Gerombolan ini juga tidak peduli dengan utang yang menggelembung luar biasa hanya dalam tempo amat singkat. Mereka seperti membuta-tulikan mata-telinganya atas utang pemerintah dan swasta melonjak lebih dari Rp7.000 triliun hanya dalam tempo kurang dari empat tahun.
Bahkan para menteri ekonomi yang konon orang-orang jempolan, pun tidak peduli bahwa utang pemerintah bertambah sekitar Rp1.600 triliun. Padahal, mereka tahu persis, angka ini jauh melampaui kenaikan pendapatan pajak dan pertumbuhan PDB. Orang-orang ‘terhormat’ itu bagai menggadaikan nalar dan nurani ketika dihadapkan kenyataan, bahwa utang ribuan triliun tadi menjadi beban rakyat hari ini dan anak cucunya di masa depan.