Kartini Taat Syariat: Dulu, Sekarang atau Nanti
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (Surat R.A. Kartini pada Abendanon, tanggal 4 Oktober 1902 )
Kartini mungkin akan menangis melihat kondisi para perempuan saat ini yang jauh dari fitrahnya. Di mana perempuan mulai meremehkan dan mengabaikan kodrat dan kewajibannya.
Memang benar di era modern, perempuan dengan mudah mengecap pendidikan setinggi-tingginya. Tapi hal tersebut tidak menjadikan perempuan semakin pintar menjalankan kewajibannya tapi justru semakin disibukkan menuntut hak-haknya.
Keberhasilan perjuangan perempuan diukur dari tercapainya kesetaraan dan kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki di berbagai bidang kehidupan.
Harapan mulia Kartini agar para perempuan kembali kepada kodrat dan fitrahnya sebagai ibu dan pendidik pertama bagi anaknya, akhirnya dikhianati sendiri oleh para perempuan masa kini.
Lebih menyedihkan lagi cita-cita mulia Kartini agar perempuan pada masanya memperoleh peningkatan harkat dan martabatnya sebagai perempuan serta menuntut hak-hak perempuan yang memang menjadi haknya, justru disalah-artikan sebagai emansipasi perempuan yang terus diopinikan dan disuarakan oleh para pengusungnya yang tidak lain para tokoh feminisme.
Di mana pada masa lampau perempuan Barat mengalami masa keterpurukan karena menjadi objek untuk diperas keringat dan darahnya untuk menggerakkan roda-roda perekonomian negara sementara hak-haknya diabaikan dan tidak dipenuhi.
Diskriminasi yang menimpa perempuan barat inilah yang melahirkan gerakan feminisme di Barat yang melahirkan berbagai masalah sosial karena kiprah perempuan di ranah publik yang kebablasan sehingga merusak tatanan keluarga, masyarakat dan peradabannya. Inilah yang kemudian dikritisi oleh Kartini lewat surat kepada Abendanon, 27 Oktober 1902 yang isinya berbunyi: “Sudah lewat masamu, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik sesuatu yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?”
Jika Kartini sudah mengkritisi dan menyadari bobroknya kondisi kaum hawa di Barat akibat feminisme ala liberalisme. Lalu, bagaimana dengan engkau wahai Kartini masa kini?
Masihkah engkau mau terjerat sistem rusak yang membuatmu kehilangan fitrahmu? Masihkah engkau mau terbelenggu dan terus terjatuh dalam kenistaan. Akibat kehilangan kehormatan dan kemuliaanmu sebagai perempuan?
Sedangkan Kartini sendiri ingin membuang jauh-jauh pemikir-pemikiran rusak itu dan menggantinya dengan pemikiran Islam yang membawa cahaya di tengah kaum hawa.
Kartini menuliskan dalam suratnya setelah mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya dan mengkaji isi al-Quran, Kartini terinspirasi dengan firman Allah Swt (yang artinya): “…mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). (TQS al-Baqarah [2]: 257)”
Wahai Kartini masa kini, lepaskanlah dan buang jauh-jauh kondemu! Kembalilah engkau dalam pangkuan Islam. Hanya Islam sajalah yang mampu menempatkanmu di kedudukan yang mulia dan bermartabat. Percayalah!
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (TQS. Al Ahzab [34]: 35). Wallahu’alam bishshawwab.
Ummu Naflah
Member Akademi Menulis Kreatif