Guru, Sang Penjaga Keimanan
Penghujung tahun 2018, dunia pendidikan Banua terguncang oleh sebuah video yang viral di jagat maya. Bukan video biasa, namun bisa mengguncang akhirat. Apa pasal?
Di video tersebut, sejumlah siswa yang tergabung dalam kelompok paduan suara salah satu SMK di Banjarmasin, sedang menyanyikan lagu rohani Kristen di acaran natalan bersama pegawai ASN dan honorer Pemko Banjarmasin. Terlihat jelas dari backdrop-nya. Yang membuat pemirsa terguncang adalah ketika terdapat beberapa siswa menggunakan kerudung di kelompok paduan suara tadi.
Tak ayal, Bumi Antasari yang religius ini pun terasa runtuh. Meskipun panitia memberi klarifikasi bahwa lagu yang dinyanyikan padus adalah lagu nasional atau daerah, namun terdengar bukan lagu nasional atau daerah yang terdengar di video. Klarifikasi yang itupun akhirnya terkesan hanya untuk meredam keresahan masyarakat.
Berbagai spekulasi pun meyertai derasnya isu video viral tersebut. Salah satunya adalah menanyakan posisi guru ketika terjadi pendangkalan akidah siswa. Memang kita akui, hitam putih nya peserta didik adalah hasil sentuhan dari seorang guru. Seringkali siswa lebih mendengarkan perintah guru dibanding orang tua nya. Meskipun tak bisa dipungkiri pula bahwa faktor lingkungan dan sistem aturan di masyarakat sangat berpengaruh bagi perkembangan peserta didik. Arus teknologi pun turut andil dalam membentuk frame berpikir dan tingkah laku siswa. Namun dengan kebijakan full day school maka otomatis dalam sehari, lebih dari 1/3 waktunya dihabiskan di sekolah.
Kejadian di salah satu SMK tersebut semestinya bisa menjadi cermin untuk para guru berkaca. Melihat kembali bayangan diri tentang posisi strategisnya untuk membentuk kepribadian siswa. Dalam UU sisdiknas No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, ada 4 kompetensi yang harus dimiliki seorang guru. Dua diantaranya adalah kompetensi kepribadian dan sosial.
Berdasarkan UU tersebut, diambillah penjelasan tentang standar kedua kompetensi guru tersebut. Standar kompetensi kepribadian yang diharapkan adalah kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Sedangkan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Ini tak mudah di dalam kondisi sistem sekuler liberal kapitalisme ini.
Tuntutan kurikulum terkadang membuat guru lupa menyelipkan nilai-nilai akhlak mulia bagi peserta didik. Berbagai macam penilaian yang harus dilaksanakan pun cukup menyibukkan guru. Beban administrasi yang akan berdampak pada kesejahteraan, membuat sebagian guru memilih meninggalkan kelas untuk menyelesaikan administrasi tadi. Dampaknya, ikatan emosional dengan siswa pun kurang. Dengan rekan sejawat pun terasa hambar, tersebab sibuk dengan urusan sendiri.