Pamer Berujung Kebohongan
Usai debat capres kedua, tensi politik semakin panas. Bagi kalangan pengamat politik dan akademisi, penampilan kedua capres masih terkesan biasa saja. Kurang greget. Sebab, apa yang dibahas masih terlalu umum. Belum menyentuh pokok permasalahan yang ditanyakan. Keduanya belum dianggap memaparkan strategi dan solusi terhadap pertanyaan yang diajukan.
Yang menarik, pemaparan data yang dikemukakan Jokowi dalam debat capres menuai polemik. Kekeliruan Jokowi menyampaikan data tentang konflik agraria, impor jagung, produksi sawit, dan kebakaran hutan menjadi catatan merah. Sebab, apa yang disampaikan Jokowi faktanya tidak bersesuaian dengan data yang ada.
Pertama, Jokowi menyampaikan selama 4,5 tahun kepemimpinannya, tidak pernah ada konflik dalam pembebasan lahan proyek infrastruktur. Faktanya, menurut Greenpeace, pada 2015 terjadi konflik masyarakat terdampak pembangunan PLTU di Batang. Peneliti Lembaga Pemerhati Lingkungan Auriga, Iqbal Damanik mencatat masih banyak konflik terjadi. Terdapat 208 konflik agraria terjadi konflik sepanjang 2017 atau 32 persen dari seluruh jumlah konflik. Di sektor infrastruktur sebesar 14 persen atau 94 konflik, kemudian di sektor pertanian sebesar 12 persen atau 78 konflik.
Kedua, Jokowi menyebut sepanjang 2018 total impor jagung sebanyak 180.000 ton. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, impor jagung mencapai 700 ribu ton. Perbedaan ini menandakan kekacauan data di lembaga pemerintah masih terjadi.
Ketiga, Jokowi menyebut produksi kelapa sawit mencapai 46 juta ton per tahun. Padahal produksi kelapa sawit per tahun tidak demikian. Secara beururutan produksi kelapa sawit dari tahun 2015 mencapai 26.542.224 ton, 2016 sebanyak 31.487.986 ton, dan tahun 2017 sebanyak 34.468.293 ton.
Keempat, Jokowi berseloroh selama tiga tahun terakhir tidak terjadi kebakaran hutan. Faktanya, Berdasarkan sumber Direktorat PKHL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2018) menyebutkan bahwa pada tahun 2016 terdapat kebakaran hutan seluas 14.604,84 hektar. Pada tahun 2017 terdapat kebakaran hutan seluas 11.127,49 hektar, dan pada tahun 2018 terdapat kebakaran hutan seluas 4.666,39 hektar. BNPB juga menyebutkan tahun 2019 sebanyak 843 Ha lahan terbakar di Riau.
Selepas koreksi tersebut, Jokowi meralat pernyataannya di debat capres. TKN pun memberikan pembelaan bahwa salah menyebut data adalah hal yang manusiawi. Manusiawikah bila kekeliruan tersebut terjadi beberapa kali? Bahkan direvisi di kemudian hari. Hal itu beberapa kali terjadi. Semisal, tarik ulur pembebasab ustadz ABB, direvisi oleh menterinya sendiri. Pemberian remisi pembunuh wartawan juga direvisi setelah masyarakat ramai-ramai memprotesnya. Sikap merevisi kebijakan juga pernah dipertontonkan oleh menterinya. Diantaranya kebijakan menaikkan BBM yang diralat 1 jam setelah diumumkan. Banyaknya revisi yang terjadi menunjukkan bahwa pemerintahan sekarang tidak matang. Grusa grusu serta kurang cermat melihat data dan fakta.
Tak heran bila rakyat menganggap bahwa kesalahan menyebut data sebagai bentuk hoaks. Karena sangat jauh dari fakta yang terjadi. Bahkan media mainstream pun ikut meralat data yang disampaikan Jokowi. Artinya, pemerintah kurang jujur dalam mengakui kekurangan dan kesalahannya. Ketika rakyat mengoreksi kesalahan tersebut, malah balik badan. Senang jika dipuji tapi sensi jika dikritisi.