Perempuan dan Ramadhan
Ramadhan menjadi bulan yang dinantikan seluruh umat. Kemeriahan menyambutnya datang di seluruh penjuru dunia. Masjid-masjid ramai. Lantunan ayat suci terdengar di mana-mana. Di sepanjang waktu warna yang terlihat pun berbeda. Ruh Islam menghiasi negeri. Di bulan inilah janji pahala berlipat diburu umat.
Begitu pula halnya terjadi pada perempuan. Beribadah serta menyiapkan santap sahur dan berbuka menjadi keindahan tersendiri. Perempuan pun bisa berprestasi saat Ramadan. Sebagaimana terjadi pada para shohabiyah pada masa kejayaan Islam. Mereka turut dalam medan jihad di perang Badar, Fathul Makkah dan beberapa peristiwa bersejarah lainnya.
Ramadan menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sembari tetap menegakkan dakwah, menggempur berbagai opini yang menjeratnya. Sebagaimana yang terjadi pada Hari Perempuan Sedunia (International Women’s Day) yang diperingati setiap 8 Maret. Peringatan ini merupakan bentuk perayaan pencapaian perempuan di berbagai bidang baik sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
Tak cuma merayakan pencapaian perempuan. Di Hari Perempuan Sedunia jadi ajang menyuarakan persamaan gender antara perempuan dan laki-laki seperti mengutip situs resmi internationalwomensday.com, Kamis (8/3/2018). (Liputan6.com, 8/5/2019).
Belum jauh dari Hari Kartini, masih dengan ide kesetaraan jender. Perempuan berdaya harus setara, kata mereka. Standart kesuksesan diukur dari materi. Maka jika perempuan mengalami kesulitan materi, yang menjadi tertuduh adalah karena tidak adanya kesetaraan. Dan inilah penyebab tidak suksesnya seorang perempuan, kata mereka.
Dalam ukuran ideologi yang ada saat ini, kesuksesan dilihat dari besarnya gaji yang diterima perempuan, keterwakilan perempuan dalam parlemen, jumlah partisipasi kerja, serta jumlah profesional perempuan di ranah publik. Keimanan tidak masuk dalam parameter mereka.
Allah SWT berfirman: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat 49: Ayat 13).
Jika dikembalikan pada standart yang dibuat Allah, maka kesuksesan perempuan terukur pada keimanannya pada Allah Subhaanahu wa ta’ala. Yaitu ketika ia kembali pada fitrahnya sebagai ummu wa robbatul baiyt, sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Dan ini akan menjadikan seorang perempuan sebagai pribadi yang bertakwa.
Mencetak generasi peradaban mulia, menjadi isteri dan ibu salihah di dalam keluarga, aktif melakukan kegiatan muhasabah pada masyarakat, dan juga tetap menjadi profesional dengan keilmuannya. Peran seperti ini membutuhkan sebuah penjagaan yang sistematis, dan untuk itulah diperlukan peran negara.
Ketidakmampuan negara menjaga hak-hak perempuan sebagaimana tuntutan Allah sang Pembuat hukum, akan menggiring mereka pada jurang kesengsaraan. Banyak kasus seperti human traficking, pelecehan seksual, kemiskinan, pembunuhan, kebodohan, dan lain-lain terjadi karena eksploitasi berlebihan terhadap perempuan.
Perempuan pun dianggap mampu memutar roda perekonomian sebuah negara. Maka berbagai slogan dilontarkan untuk mendorong mereka ke luar rumah. Dengan paham kebebasan, diiming-imingi sejahtera jika mampu berperan di sektor publik. Ia menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Sebuah sistem cacat yang tidak layak diemban oleh sebuah bangsa.
Hal ini tidak terdapat dalam Islam. Allah menjaga kehormatannya. Dengan sistem pengurusan umat yang paripurna, perempuan bertugas mencetak generasi tangguh. Jaminan nafkah, hadhonah, perwalian, pernikahan, sistem pergaulan, pengaturan hijab dan lain-lain adalah bentuk keindahan Islam terhadap penjagaan kemuliaan perempuan.
Dan semua hal ini membutuhkan negara, yang akan melindungi perempuan. Negara pula yang memastikan hak-haknya diperoleh dengan baik, memberi ruang agar perempuan pun berprestasi di ranah publik, memberi akses untuk memperoleh pendidikan, layanan kesehatan dan seluruh kebutuhan dasarnya.
Oleh sebab itu mengeluarkan perempuan dari kesulitannya, tidak bisa dilakukan dengan keterwakilan perempuan dalam parlemen. Tidak juga dengan mendorong mereka menjadi pekerja, buruh, tenaga kerja wanita dan lainnya. Dan bukan pula dengan adanya presiden perempuan. Atau bentuk undang-undang perlindungan perempuan yang masih berbasis sekuler.
Yang dibutuhkan umat dan termasuk juga perempuan adalah penerapan aturan Allah. Aturan yang tidak ada peluang di dalamnya terjadi friksi antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Aturan yang bersumber dari Allah Subhaanahu wa ta’ala yang Maha Mengatur.
Maka Ramadan sebagai momen penting umat untuk kembali pada predikatnya sebagai khairu ummah, membawa perempuan mendekat kepada Allah. Kedekatan inilah yang mampu mengembalikan umat pada ketinggian berpikir. Hingga akhirnya mereka tidak mau lagi dihukumi dengan aturan kufur. Wallahu a’lam bish shawab.
Lulu Nugroho
Muslimah Revowriter Cirebon