Tragedi Pemilu 2019 Sinyal Buruk Demokrasi
Ramadhan semestinya disambut dengan suka cita. Namun, faktanya mendung gelap masih menaungi negeri tercinta. Pasca kontestasi Pemilu 2019, bukan hanya kecurangan yang semakin tampak brutal dan nyata. Meninggalnya ratusan petugas KPPS juga masih menjadi misteri yang tak kunjung terang.
Menjadi rahasia publik meninggalnya 500 petugas KPPS menjadi pusat perhatian, baik nasional maupun internasional. Media seperti Bloomberg, South China Morning Post, The Straits Times, hingga Sputniknews bahkan menyorot fenomena yang tak biasa ini.
Meninggalnya ratusan petugas KPPS tentu menjadi tragedi yang menyesakkan dada. Mirisnya, fenomena janggal tersebut tak mendapat perhatian semestinya dari pemerintah. Bahkan dianggap kejadian biasa, efek dari kelelahan akibat perhitungan surat suara.
Faktor kelelahan yang dijadikan kambing hitam, justru berbuntut munculnya kecurigaan. Alasan kelelahan sebagai penyebab kematian pun mendatangkan penolakan dari dunia medis dan kedokteran. Yogi Prabowo, anggota Presidium MER-C dalam konferensi pers di Sekretariat MER-C, Jakarta Pusat, Jumat (3/5/2019), mengatakan kelelahan tidak bisa dijadikan kambing hitam penyebab kematian. Ia menambahkan dalam dunia medis, kelelahan tidak bisa dijadikan alasan kuat sebagai penyebab kematian. Alasan seperti itu hanya pantas diutarakan oleh orang awam. (indonesiainside.id, 3/5/2019).
Pernyataan Yogi Prabowo senada dengan keterangan dr. Ani Hasibuan pada program “Catatan Demokrasi” di TVOne. Dokter ahli syaraf tersebut menduga ada unsur kelalaian dalam proses rekrutmen maupun proses lainnya yang menjadi penyebab ratusan anggota KPPS tewas. Ia juga menduga ada misteri penyebab kematian ratusan petugas KPPS. Sebagai dokter dan memiliki kepekaan kuat atas insiden yang menimpa munculnya pembunuhan massal di pesta demokrasi Indonesia, adalah sebagai bencana pembantaian. Ia pun mengusulkan dilakukannya otopsi terhadap para korban penyelenggara Pemilu 2019 yang tewas. Karena peristiwa ini bukan kejadian yang wajar.
Dari investigasi yang dilakukan di Yogyakarta, dr. Ani Hasibuan mengungkapkan tidak ada kaitan kelelahan dengan kematian anggota KPPS. Artinya penyebab ratusan anggota KPPS tewas perlu diteliti lebih mendalam, ini ada faktor X sehingga menjadi misteri. (kabartoday.co.id, 8/5/2019).
Berbeda sikap dengan dr. Ani Hasibuan yang prihatin dan menaruh perhatian penuh terhadap misteri ini. Selevel presiden justru hanya mengucapkan bela sungkawa untuk ratusan petugas KPPS yang meninggal di hadapan kepala daerah pada Pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Tahun 2019 di Ballroom Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat, Kamis (9/5/2019). Jika banyak pihak menganggap kontestasi Pemilu 2019 sebagai tragedi demokrasi. Sebaliknya Presiden Jokowi menganggap Pemilu serentak 17 April 2019 telah berjalan lancar berkat kerjasama kepala daerah dan berbagai pihak. (merdeka.com, 9/5/2019).
Miris dan ironis. Selevel presiden hanya dapat menyampaikan duka cita. Tanpa diikuti dengan pengusutan misteri meninggalnya ratusan petugas KPPS. Padahal satu nyawa melayang menjadi tanggung jawab penguasa di hadapan Allah Ta’ala kelak. Apatah lagi ini ratusan nyawa yang menjadi tumbal demokrasi.
Sementara di sisi Allah Ta’ala, hilangnya nyawa seorang muslim lebih lebih besar perkaranya dari pada hilangnya dunia. Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu’alayhi wa Sallam bersabda, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai dan Turmudzi). Sungguh sangat disayangkan, apabila nyawa seorang Muslim harus hilang untuk sesuatu yang sangat tidak jelas.
Misteri ratusan petugas KPPS yang meninggal sebagai tragedi demokrasi juga semakin menguatkan bukti. Bahwa demokrasi tak hanya membutuhkan biaya tinggi, tapi juga diwarnai berbagai kecurangan yang menimbulkan korban jiwa. Semua itu tak lain untuk meraih kekuasaan demi kepentingan para kapitalis dan pundi-pundi rupiah.
Benarlah bahwa demokrasi telah menjadi alat untuk menghabisi dan merenggut hak hidup manusia. Maka tidak salah jika John Adams mengatakan demokrasi lebih berdarah ketimbang Aristokrasi atau Monarki. Dan ini bukanlah hal yang mengagetkan mengingat Aristoteles dan Plato yang menjadi bidan lahirnya demokrasi mengatakan bahwa demokrasi telah cacat sejak dari lahir.
Adalah sebuah pilihan cerdas meninggalkan demokrasi. Di satu sisi menjadi pilihan terbaik di bulan Ramadhan yang mulia ini untuk kembali kepada aturan Ilahi. Sebab hanya Islam yang mampu mengantarkan umat ke arah perubahan hakiki. Ditempuh sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alayhi wa Sallam contohkan. Serta dituntun oleh wahyu Ilahi demi tegaknya syariat Allah Ta’ala di tengah umat. Inilah perubahan yang sebenar-benarnya menuju kemaslahatan umat untuk menyambut tegaknya peradaban gemilang. Insyaallah. Wallahu’alam.
Ummu Naflah
Penulis, Member AMK