Hanya di Negeri Dilan, Napi Korupsi Bebas Pelesiran
Nama Setya Novanto kembali muncul dalam headline sejumlah media massa setelah lebih kurang satu tahun mantan Ketua DPR RI itu dieksekusi ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Setya Novanto kepergok keluar lapas dan plesiran di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Jumat (14/6/2019) meski berstatus terpidana. Dilansir dari Kompas.com, 16/06 beredar foto yang menunjukan sosok Setya Novanto mengenakan topi dan masker tengah bersama seorang wanita yang diduga istrinya. Dalam foto tersebut, Setya Novanto memakai kemeja lengan pendek putih dan celana panjang dengan muka tertutup masker.
Setya Novanto diduga tengah berada di galeri keramik toko bangunan di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Padahal bekas Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR itu meminta izin keluar lapas untuk berobat di Rumah Sakit Sentosa, Bandung, sejak Rabu (12/6/2019).
Tentu ini bukan satu-satunya skandal yang pernah dilakukan Setya Novanto selama menjalani hukuman pidana di Lapas Sukamiskin. Ia pernah terlibat skandal sel palsu di Sukamiskin hingga kepergok tengah bersantap di restoran Padang di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat.
Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Barat, Liberti Sitinjak langsung memindahkah Novanto ke Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, setelah foto Novanto sedang pelesiran beredar. Liberti meminta maaf kepada masyarakat seraya mengakui hal itu merupakan kesalahan lembaganya. Liberti menjelaskan, Novanto memang diizinkan keluar untuk berobat ke RS Sentosa selama 3 hari sejak 12 Juni 2019 lalu. Izin itu dikeluarkan berdasarkan rekomendasi berobat yang dikeluarkan dokter lapas. Liberti mengklaim, Novanto keluar lapas dengan pengawalan petugas. Atas dasar itu, Kemenkumham juga memeriksa pengawal yang bertugas mengawal Novanto saat kejadian.
Kasus pelesiran narapidana korupsi yang terus berulang membuat publik mempertanyakan komitmen pemerintah soal penjeraan napi korupsi. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai ketidakbecusan dalam mengelola lapas berpotensi membuat kerja dari KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan menjadi sia-sia.
Kejadian yang terus berulang membuat publik meragukan kredibilitas hukum yang dianut oleh negara, karena narapidana korupsi yang merugikan negara bahkan membuat negara merugi sebesar Rp 2,3 Triliun. Tentunya bukan jumlah yang sedikit.
Dengan kerugian materi yang besar seharusnya bisa menjadikan Setya Novanto sebagai musuh bagi negara dan seluruh warga. Karena korupsi ini seluruh warga dibuat susah olehnya dalam membuat identitas diri. Padahal, sekarang ini segala hal diharuskan melampirkan e-KTP.
Namun, seakan tak sebanding dengan kesalahan dan akibat fatal perbuatannya, hukuman yang dijatuhi terlihat lebih ringan dan santai. Bahkan pelesir dari lapas ini terjadi secara berulang-ulang. Itu artinya hukum dan aparat hukum mulai diragukan kredibilitasnya.
Sistem keputusan hukum di Indonesia tidak bisa mewakili kesalahan tersangka dan penderitaan rakyat. Tumpul ke atas dan tajam ke bawah adalah gambaran yang cocok. Masyarakat elit yang meiliki kekuasan dan uang bisa membeli hukum dengan sesukanya, sedangkan masyarakat miskin yang kena getahnya.
Sistem kapitalisme yang serba uang ini memang terasa tak adil bagi seluruh rakyat. Hukum menjadi tebang pilih. Membuat masyarakat tak mendapat jamin keadilan secara pasti. Maka tak heran jika rakyat pun mulai sanksi dengan keadilan hukum hari ini.
Sungguh tidak ada hukum yang paling adil kecuali hukum dari Allah Ta’ala. Hukum teradil yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Keadilan ini jelas tak bisa dibantah lagi, karna hukum Sang Pencipta tetap menjadi hukum terbaik bagi hamba-Nya.
Maka dari itu berusaha menegakan hukum Allah Ta’ala di tengah umat berarti berusaha menegakkan keadilan hukum bagi seluruh rakyat. Kesejahteraan pasti terjamin dan keberkahan akan datang dari langit dan bumi.
Dan tentunya tak ada lagi hukum tebang pilih. Apatah lagi narapidana yang pelesiran dengan sembunyi-sembunyi. Wallahu’alam bisshawab.
Fajrina Laeli
STIE Insan Pembangunan