Pansel KPK, “Koruptor” Itu Anti Radikalisme!
Kesempatan baik menjadi Tim Seleksi Calon Pimpinan KPK dimanfaatkan dengan buruk oleh para penerima mandat. Terlepas dari ada atau tidaknya paham radikalisme yang katanya sudah mulai memasuki gedung KPK.
Pernyataan Ketua Timsel Capim KPK Yenti Garnasih sangat mengganggu bahkan memiliki efek yang ‘mengerikan’ bagi sebuah bangsa. Karena akan menciptakan rasa takut bahkan ketakutan itu telah meliputi lembaga negara.
Menggandeng Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam seleksi Calon Pimpinan KPK bukan hanya merusak citra bangsa Indonesia, tetapi menghancurkan kredibilitas pemberantasan korupsi yang selama ini telah bekerja secara baik.
Negara seakan-akan telah diliputi oleh radikalisme dan terorisme, sehingga setiap sudut dan ruang bernegara harus dijaga dari paham itu. Sekarang nurani kita dipaksa untuk menyaksikan semacam dramatisasi ini.
Menjadi Capim KPK mungkin hal yang tidak mudah, dan harus memiliki track record yang jelas, dengan disiplin ilmu hukum yang jelas. Tidak mudah orang menjadi Capim KPK, apalagi lembaga ini merupakan lembaga penting untuk menegakkan moralitas pejabat negara.
Panitia seleksi calon pimpinan KPK, sepertinya tidak mengerti apa itu pemberantasan Korupsi. Ada fokus yang salah dari Pansel KPK dalam mencari figur anti Korupsi. Seharusnya Pansel KPK mencari tokoh yang memiliki semangat dan integritas anti korupsi. Tetapi sekarang kita lihat begitu rusaknya cara pandang Pansel KPK, mereka sibuk menyeleksi tokoh antiradikalisme dan terorisme.
Bayangkan, betapa rusaknya cara berpikir Pansel KPK periode ini. Orang-orang ini menurut saya, hasil dari produk gagalnya presiden mencari tokoh yang punya pengetahuan dan pemahaman dalam pemberantasan korupsi untuk menjadi Tim Seleksi Pimpinan KPK.
Negara ini memang telah melahirkan banyak tumpang tindih fungsi dan kewenangan lembaga negara dalam berbagai hal. BNPT kini berwenang untuk menilai Capim KPK dengan alasan menghalau paham radikalisme.
Sementara paham radikalisme yang masih bertengger dalam pemahaman BNPT masih berkutat pada ‘ajaran Islam’ yang dianggap sebagai doktrin gerakan-gerakan Islam transnasional. Karena itu patut kita pertanyakan, paham radikalisme seperti apa yang ingin dihalau di KPK?
Apakah orang-orang Islam yang dianggap memiliki pemahaman Islam dan memahami doktrin-doktrin Islam itu dianggap radikal? Ataukah mereka yang secara ‘simbolik’ memiliki jenggot yang tebal, celana cingkrang dengan memakai kopiah dan piyama disertai jidat yang hitam dianggap sebagai radikalis?.