Demokrasi Panggung Sandiwara
Pasca kontestasi politik, bandul keadilan dan kebenaran tak berhenti bergerak. Sebab ketidakadilan dan kecurangan yang marak. Hingga publik pun akhirnya dibuat gamang. Sang Penjaganya telah menampak diri di mana ia berpihak. Rakyat pun lagi dan lagi dibuat kecewa, dengan rangkaian sandiwara di panggung demokrasi.
Sebagaimana diberitakan bbcindonesia.com, 27/6/2019, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terkait gugatan hasil Pilpres 2019. Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Anwar Usman, membacakan kesimpulan putusan majelis hakim konstitusi pada pukul 21.15 WIB, Kamis (27/06) malam. Dalam kesimpulan tersebut majelis hakim konstitusi menyatakan semua dalil hukum yang diajukan tim hukum Prabowo-Sandiaga tidak beralasan. Sebelumnya, dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menolak semua dalil hukum yang diajukan kuasa hukum Prabowo.
Keputusan Mahkamah Konstitusi sebenarnya jauh hari sudah dapat diprediksi. Pakar Hukum Tata Negera Refly Harun, mengatakan dari sidang sengketa hasil pemilu presiden 2019 yang berlangsung di MK, sulit rasanya membuktikan adanya kekeliruan atau kesalahan, bahkan kecurangan dalam hitung suara berjenjang.
Karenanya secara gamblang, Refly memprediksi hasil putusan hakim Mahkamah Konstitusi dipastikan akan menolak permohonan pemohon. Sebab, selain saksi yang dihadirkan belum dapat menjawab sangkaan, persepsi publik tentang dugaan kecurangan dilakukan petahana belum didukung pembuktian kuat. (merdeka.com, 24/6/2019).
Sejatinya tinggi harapan rakyat di tangan MK. Bahwa keadilan akan berpihak pada kebenaran. Bukan hanya tentang cerita selisih suara. Tapi masa depan jutaan rakyat Nusantara. Melihat lima tahun ini, rakyat menjalani hidup dengan begitu berat. Apakah rakyat harus kembali memeras darah dan keringat untuk lima tahun ke depan?.
Tayangan sidang MK yang digelar bahkan hingga larut malam, ternyata bak sandiwara di panggung demokrasi. Disaksikan jutaan rakyat, demi pencitraan dan membungkam kritik. Akhirnya hanya membuat kecewa dan menyakiti hati rakyat. Di satu sisi, semakin menambah bukti bahwa panggung demokrasi tak berpihak pada keadilan dan kebenaran.
Sejak awal ketidakadilan memang sudah ditampakan. Masuknya petahana sebagai calon presiden dalam kontestasi pemilu, sejatinya membuka potensi kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif. Sebab terkait pelibatan aparat penegak hukum, sipil, dan penggunaan sumber daya negara dalam kontestasi politik. Sayangnya kecurangan ini pun seolah dilegitimasi oleh mahkamah kecurangan. Bahkan serangkaian tragedi berdarah tak dapat menjadi bukti bahwa kecurangan marak terjadi.
Maka sungguh rangkaian sandiwara dalam panggung demokrasi, seharusnya mampu membuka mata dan hati kita. Bahwa demokrasi sistem curang nan dusta. Menghalalkan segala cara demi pundi-pundi suara. Sementara nasib 700 petugas KPPS yang tewas, 8 orang tewas dalam tragedi berdarah 22 Mei dan nasib 50 orang yang dikabarkan hilang pasca tragedi seolah hilang tanpa bekas. Penguasa seolah cuci tangan terhadap kejadian tersebut. Padahal sejatinya diamnya penguasa menjadi kezaliman yang nyata.
Demokrasi bukanlah jalan menuju perubahan hakiki. Juga bukan jalan dalam mencari keadilan di sisi kebenaran. Demokrasi hanya panggung sandiwara di mana para penguasa boneka memainkan peran. Sementara para kapitalis menjadi dalangnya. Sedangkan rakyat sebagai penonton yang terkena imbas derita dari sandiwara jahat yang dimainkan.
Saatnya membuka mata dan hati, bahwa demokrasi bukanlah solusi menuju perubahan hakiki. Demokrasi juga bukan jalan bagi para pejuang kebenaran mencari keadilan. Sungguh rakyat membutuhkan sebuah sistem yang tak hanya memberikan solusi tapi juga solutif. Hingga mampu mengantarkan umat pada perubahan hakiki. Dan menjadikan keadilan tegak di tengah umat.
Dan tentunya sebuah sistem yang bukan berasal dari akal manusia yang lemah dan terbatas seperti demokrasi. Tapi sebuah sistem yang berasal dari Al-Khaliq Al-Mudabbir, yaitu Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia.” (TQS. Al Anbiya ayat 107).
Maka, menjadi pilihan terbaik meninggalkan panggung sandiwara demokrasi. Dan memilih Islam sebagai panggung di mana keadilan dan kebenaran dijunjung tinggi. Serta menjadikan problematika rakyat sebagai masalah penting bagi penguasa untuk segera diatasi.
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al-Maidah [5]: 50).
Dan untuk para hakim, ingatlah! Sungguh Allah Ta’ala adalah hakim yang Maha Adil. Dan sebaik-baiknya pengadilan adalah pengadilan akhirat. Maka takutlah wahai para hakim yang mengatakan bahwa ia takut hanya pada kepada Allah Ta’ala. Sementara keputusannya bertentangan dengan hukum Allah Ta’ala. Wallahu’alam.
Ummu Naflah
Komunitas Penulis Bela Islam, Mentor di AMK