Menawar Islam
Ide Islam wasathiyyah atau Islam pertengahan atau moderat, terus menjadi arus utama. Berbagai kegiatan penyebarannya tampak masif digawangi penguasa negeri. Memandang bahwa Islam yang ada sekarang fundamentalisme, radikalisme dan berbagai framing negatif ditujukan pada akidah yang mulia ini. Maka penguasa menggandeng ulama menyebarkan ide untuk menawar Islam, agar sesuai dengan keinginan mereka.
Berbagai upaya penyebaran ide baru ini, terus dilakukan. Seperti yang terjadi baru-baru ini yaitu, Konferensi Internasional Kedua mengenai Islam moderat yang bertajuk “Seeking The Middle Path (Al Wasatiyya): Articulations of Moderate Islam” diselenggarakan di Universitas Radboud, Nijmegen, Belanda.
Konferensi tahun ini dihadiri sekitar 300 orang dan melibatkan para akademisi, peneliti dan budayawan dari berbagai latar belakang yang beragam baik dari Indonesia, maupun Belanda.Dialog antar agama kali ini lebih banyak membahas mengenai cara negara bekerja sama dengan berbagai komunitas keagamaan untuk dapat mempromosikan toleransi.
Acara yang digagas oleh PCINU Belanda bekerja sama dengan Universitas Radboud, Nijmegen, Belanda, diselenggarakan pada 19 sampai 20 Juni 2019. Tampak hadir sebagai pembicara, KH Yahya Cholil Staquf Katib Am PBNU, anggota Wantimpres dan Utusan Khusus Presiden. Serta Menteri Agama Republik Indonesia, Lukman H Saifuddin, Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja. (Republika.co.id, 24/6/2019).
Konsep Islam wasathiyyah atau Islam pertengahan, jalan tengah atau middle way, digagas sebagai cara untuk melunakkan Islam. Demi perdamaian dunia, menjadikan Islam sebagai agama damai, rukun, anti kekerasan, dan saling menghargai perbedaan serta saling mengapresiasi keragaman.
Beberapa hari setelahnya, pada 21 Juni, agenda diskusi Friends of Indonesia 2019: Fellowship for Future Ambassadors. Diinisiasi Direktorat Diplomasi Publik Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Indonesia, menghadirkan sebanyak 12 diplomat asing. Bertempat di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Tahun ini, diskusi fokus membahas Islam wasathiyyah (moderat). (Republika.co.id, 14/6/2019).
Ide ini akan terus digulirkan dalam diskusi-diskusi serupa oleh para pengusungnya. Diharapkan mampu memberi pandangan yang lebih luas mengenai Islam wasathiyyah. Sebagai bentuk pembelaan terhadap Islam, menurut mereka mampu mengurangi stigma buruk terhadap Islam yang selama ini ada.
Termasuk, stigmatisasi Islam sebagai agama ekstrem, penuh radikalisme, dan lekat dengan terorisme. Melalui wasatiyah, Islam diharap mampu memberi kedamaian, harmonisasi dan toleransi terhadap agama-agama lain. Sayangnya beberapa ulama dan ormas Islam mendukung ide tersebut. Menyambut baik dan turut menyebarkannya.
Padahal Islam sebagai agama yang mulia, telah membuktikan selama berabad-abad betapa ketinggiannya tidak mampu dilampaui akidah manapun yang ada di dunia. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Al Islaamu ya’lu wa laa yu’laa alaihi.” Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.
Istilah moderat sendiri justru bukan berasal dari Islam. Revolusi Perancis yang muncul akibat episode menghisap darah rakyat. Gereja melalui tangan raja membuat aturan hukum dan persanksian yang menindas. Pemberontakan tidak terelakkan, sebab hak kemanusiaan tidak dipenuhi penguasa pada waktu itu.