Kasih Sayang Rasulullah terhadap Orang Tua
Walaupun orang-orang tua sudah mendapatkan pengalaman, pelajaran, dan kebijaksanaan yang lebih, sudah bertambah pula kedudukan dan hartanya, tentu saja ia memiliki satu bentuk kelemahan. Kelemahan itu bisa tampak pada kesehatan dan tubuhnya dan bisa juga pada bentuk kelemahan yang lain. Allah menyebutkan dalam Alquran: ”… kemudian Kami jadikan setelah masa kuat itu masa lemah (kembali) dan beruban…” (QS. Ar-Rûm: 54).
Karena adanya kelemahan ini, Rasulullah memberikan perhatian terhadap orang-orang tua dan hal itu tampak jelas dalam perkataan dan perbuatannya. Beliau bersabda: “Sesungguhnya di antara cara memuliakan Allah adalah dengan menghormati orang muslim yang sudah tua, dengan menghormati ahli Alquran tanpa berlebihan dan tanpa menghinanya, serta dengan menghormati penguasa yang adil.”
Dalam kalimat yang lembut ini, Rasulullah ingin menegaskan kemuliaan orang tua di kalangan kaum muslimin sampai-sampai didahulukan dari ahli Alquran dan pemimpin adil yang kemuliaan mereka begitu besar.
Suatu hari ada seorang tua datang kepada Rasulullah. Orang-orang pada waktu itu tidak bersegera memberi jalan kepadanya. Dengan penuh kelembutan dan kasih sayang Rasulullah menyatakan: “Tidak termasuk bagian dari kami orang yang tidak mencintai anak kecil dan tidak menghormati orang tua.”
Beliau ingin menyatakan bahwa siapa yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati orang tua, ia tidak termasuk bagian kaum muslimin; Ia tidak bersifat seperti sifat kami, tidak beramal seperti amalan kami, dan tidak berakhlak dengan akhlak kami. Tidak ada hukum dan undang-undang lain di dunia ini—selain Islam—yang memasukkan penghormatan kepada orang tua sebagai salah satu poin penting.
Nabi sendiri telah menggambarkan hal ini dalam kehidupannya. Ketika Fathu Makkah, Abu Bakar datang dengan bapaknya, Abu Quhafah, yang pada saat itu telah berusia lanjut untuk masuk Islam di hadapan Rasulullah di Baitul Haram. Rasulullah bersabda kepada Abu Bakar: “Mengapa engkau tidak membiarkan orang tua ini di rumahnya biar saya yang mendatanginya.”
Inilah dia Sang Jenderal penakluk kota Mekah. Sementara Abu Quhafah adalah seorang tua yang terlambat masuk Islam sampai dua puluh tahun. Meskipun begitu, Rasulullah tetap menghormatinya dan memandang bahwa beliaulah yang seharusnya datang ke rumah orang tua ini.
Demikianlah orang tua dalam pandangan Rasulullah. Beliau bahkan menolak memanjangkan shalat berjamaah—seberapa pun besar kecintaan Rasulullah terhadap shalat jamaah ini—karena dapat menyusahkan orang tua dan orang-orang yang mempunyai keperluan. Ini menunjukan pandangan beliau yang menyeluruh dalam permasalahan kasih sayang. Hal ini juga menunjukkan keluasan wawasan dan pemahaman beliau terhadap hakikat Islam; bahwa Islam sesungguhnya datang untuk menebar kasih sayang dan bukan untuk menyiksa dan menyusahkan.
Semua ini bisa kita saksikan dari salah satu sikap beliau yang mulia, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Mas’ud. Dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa seorang laki-laki mendatangi Rasulullah sambil berkata, “Wahai Rasulullah saya selalu berlambat-lambat shalat Subuh karena si fulan yang suka memanjangkan shalatnya (ketika ia menjadi imam).” Saya tidak pernah melihat Rasulullah begitu keras dalam memberi peringatan lebih dari hari itu.
Beliau bersabda: “Sungguh di antara kalian ada yang menjadi penyebab orang-orang lari (dari shalat jamaah). Siapa saja di antara kalian yang menjadi imam, hendaknya ia memendekkannya. Karena di antara para makmum ada yang lemah, ada yang tua dan ada yang memiliki keperluan.”
Betapa agungnya sikap ini!!!
Apabila kasih sayang beliau kepada orang tua yang telah berusia lanjut sedemikian besar, tentu terhadap kedua ibu bapaknya lebih besar lagi. Di beberapa negara—khususnya di kalangan orang-orang kota—banyak orang tua yang tidak mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan dari anak-anaknya saat usia mereka telah lanjut dan kesehatan mereka mulai melemah. Rasulullah tidak memerintahkan demikian!!
Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah Saw lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk aku muliakan?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Bapakmu.”
Orang yang paling pantas untuk dihormati bukanlah seorang kawan, penguasa, atau komisaris perusahaan. Yang paling pantas dimuliakan adalah ibu dan bapak. Nabi mendahulukan ibu tiga kali karena kelemahannya dan kebutuhannya terhadap perhatian di masa tuanya.
Inilah bentuk kasih sayang Rasul kepada ibu dan bapak. Silakan seluruh orang membandingkan kasih sayang ini dengan apa yang terjadi di seluruh dunia!
Maha benar Allah yang telah berfirman, “Tidaklah engkau Kami utus melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107).
[Dr Raghib As-Sirjani/islamstory.com]