Pacaran, Habis Manis Sepah Dibuang
Di era sekarang ini, pacaran bukanlah hal yang asing lagi. Sebaliknya, tidak berpacaran justru dibilang ketinggalan jaman. Padahal jika ditelisik lebih jauh, hubungan inilah yang mengawali perzinaan dan yang paling parah mengakibatkan hamil di luar nikah. Jika sudah demikian, apa yang dilakukan pelaku?.
Ada tiga kemungkinan, pertama adalah menikah untuk menutupi kehamilan, menggugurkan bayi yang dikandungnya, atau diam-diam tetap melahirkannya dengan konsekuensi yang ada. Lalu, dengan ketidaksiapan pelaku memiliki keturunan, seringkali bayilah yang menjadi korban.
Kasus pembunuhan terhadap anaknya sendiri yang dilakukan oleh remaja berinisial SNI (18) di dalam toilet Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Beriman pada Rabu 24 Juli sekira mendapat kritikan pedas dari masyarakat. Banyak yang mempertanyakan mengapa pelaku bisa tega membunuh dengan keji terhadap buah hatinya yang ia lahirkan.
Bayi berjenis kelamin perempuan itu tewas setelah mulutnya disumpal tisu toilet dan tali pusarnya dicabut. Setelah tewas, jasad bayi dimasukkan kedalam kantong plastik dan berencana membuangnya di luar. Aksinya pun ketahuan petugas rumah sakit saat hendak melarikan diri. (https://news.okezone.com, 28/07/19)
Tercatat setidaknya 12 kasus pernikahan anak di kamp pengungsian korban gempa dan tsunami yang tersebar di Palu, Sigi, dan Donggala di Sulawesi Tengah dalam beberapa bulan terakhir. Fenomena ini menambah potret buram Sulawesi Tengah sebagai salah satu daerah dengan prevalensi pernikahan anak terbanyak. Kasus pernikahan anak korban gempa ini disebut sebagai “fenomena gunung es”, mengingat terdapat 400 titik pengungsian yang tersebar di lokasi bencana dan belum semuanya ‘terjamah’ oleh pegiat hak perempuan dan perlindungan anak. Wartawan BBC News Indonesia Ayomi Amindoni dan Dwiki Muharam, mencari tahu lebih dalam di balik fenomena pernikahan anak penyintas korban bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada September 2018 silam. (https://regional.kompas.com, 26/07/19)
Kasus pernikahan yang tidak diinginkan atau bisa disebut pernikahan dini juga terjadi di kamp pengungsian korban gempa dan tsunami yang tersebar di Palu, Sigi dan Donggala, di Sulawesi Tengah. Menurut sumber yang ada motif ekonomi mendominasi. Desakan ekonomi keluarga membuat mereka kemudian menikahkan anaknya demi mengurangi beban keluarga. Selain keterdesakan ekonomi, faktor hamil di luar nikah juga menjadi penyebab pernikahan. Proteksi orangtua jauh berbeda ketika mereka tinggal di kamp pengungsian. Terlepas dari kondisi ekonomi yang mendesak, faktor norma sosial di Palu dan sekitarnya yang melanggengkan pernikahan anak, menurut Dewi, juga menjadi penyebab maraknya pernikahan anak di Sulawesi Tengah.
Fakta-fakta di atas adalah bukti Negara gagal mendidik remaja berkarakter dan melindungi mereka dari pergaulan bebas. Sistem sekuler memberi ruang kebebasan pada mereka dalam berperilaku kemaksiatan yang mencabut fitrah manusia. Mirisnya mereka berani berbuat, tetapi tidak siap dengan akibat dari perbuatannya.
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS Al-Israa’/ 17: 32).
Potongan ayat di atas adalah salah satu contoh bagaimana Islam mengatur kehidupan. Bahkan sebelum jaman berkembang sudah dijelaskan jika zina adalah perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk. Seandainya saja setiap anak memahami hal ini, maka berhubungan sebelum adanya pernikahan akan menjadi satu hal yang pantang untuk dilakukan. Jadi, bukankah sekarang sudah saatnya kita kembali kepada Islam dan menjadikannya sebagai pedoman hidup? Islam adalah sistem paripurna melindungi remaja dari kemaksiatan dan mendidik mereka dengan karakter syakhshiyyah Islam (kepribadian Islam). Di mana setiap pribadi harus siap mempertanggungjawabkan perbuatanya dihadapan Allah selama menjalani kehidupan dunia. Wallahu A’lam Bishawab.
Nurlaini
(Warga Masyarakat)