Perceraian Meningkat, Tanggung Jawab Siapa?
Sepanjang 2019, kasus perceraian yang ditangani oleh Pengadilan Agama Soreang mencapai 6.300 perkara atau rata-rata lebih dari 700 perkara setiap bulannya. Bahkan pada Juli 2019 lalu, PA Soreang mencatat rekor karena menerima sampai 1.011 perkara sekaligus. Menurut Adam Iskandar, Panitera PA Soreang, lembaga itu sendiri baru resmi berdiri terpisah untuk wilayah Kabupaten Bandung sejak November 2018. Namun sejak itu, jumlah kasus perceraian yang diterima justru melonjak tajam.
“Selama dua bulan pertama November-Desember 2018, kasus perceraian yang kami tangani hanya 1.600 perkara atau rata-rata 800 perkara per bulan. Tahun ini pun trennya terus meningkat,” tutur Adam. Tak heran, jika saat ini selalu ada akta perceraian yang terlambat diterima oleh para pencari keadilan karena panitera kewalahan mendatanganinya. Meskipun demikian, saat ini PA Soreang terus berupaya meningkatkan pelayanan dengan penerapan persidangan elektronik (e-court). Sejauh ini, sudah ada 27 perkara yang menerapkan sistem tersebut dan 10 di antaranya sudah diputus oleh hakim (pikiran-rakyat.com, 19/9).
Ada banyak persoalan yang melatarbelakangi gugatan perceraian. Di antaranya faktor ekonomi, perselingkuhan maupun perbedaan pendapat. rata-rata pendaftar untuk sidang perceraian masih berusia relatif muda, namun beberapa ada yang sudah berumur. Para calon janda dan duda ini terlihat memenuhi ruang tunggu Pengadilan Agama Kabupaten Bandung di Soreang (inews.id, 18/7).
Padahal kebangkitan peradaban itu dimulai dari rumah. Keluarga adalah cikal bakal berdirinya peradaban besar. Lahirnya generasi yang gemilang juga berawal dari rumah. Apa yang akan terjadi jika di dalam sebuah rumah ditinggali oleh keluarga yang tidak utuh, penuh amarah, penuh tangisan duka dan penderitaan? Tentu bukan peradaban yang gemilang yang akan berdiri suatu hari nanti, melainkan peradaban yang hancur, dan mudah disetir oleh peradaban lain yang jauh lebih hebat.
Jika kita menelaah secara kritis terkait apa sebenarnya permasalahan mendasar yang merusak komponen rumah tangga dan keluarga? Maka akan kita dapati bahwa permasalahan terletak pada ketidakmampuan keluarga (terutama suami) untuk memenuhi kebutuhan dasar anggota keluarganya. Harga kebutuhan primer dan sekunder terus mengalami kenaikan, dan tidak dibarengi dengan penghasilan yang sepadan, bahkan sulit sekali untuk mendapatkan penghasilan tetap. Ditambah lagi dengan iuran-iuran wajib, seperti BPJS & pajak, yang semakin membebani. Meskipun ada tunjangan dan bantuan, tetap tidak bisa menutupi kebutuhan mereka.
Belum lagi gempuran arus budaya liberal ala Barat yang semakin deras menerpa keluarga dan generasi. Budaya permisif dan hedonisme semakin membuat gaya hidup keluarga semakin bebas. Peluang untuk berselingkuh dan perzinaan semakin terbuka. Belum lagi perbuatan seks menyimpang seperti LGBT yang menghantui baik kepada para pemuda, maupun yang sudah berpasangan. Pergaulan bebas bukan lagi untuk para remaja, mereka yang sudah menikah pun terjerembap dalam kubangan ini.
Miris. Kondisi keluarga yang seharusnya menjadi benteng utama dalam menjaga generasi pun rusak karena terpapar virus liberalisme. Mereka tak lagi memiliki visi dan misi dalam membentuk keluarga, apalagi bicara tentang iman dan takwa. Keimanan dan ketakwaan mereka pun tergerus oleh gaya hidup. Bagaimana nasib generasi mereka jika sudah terpapar yang demikian? Tentu buah yang jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Bagai rantai setan, kerusakan yang terjadi dalam rumah tangga akan menimpa pada anak-anaknya.
Dalam Islam, ketahanan rumah tangga juga disokong penuh oleh Negara. Jumlah perceraian yang meningkat pun tidak lepas dari tanggung jawab pemerintah sebagai pilar tertinggi dalam melindungi rakyatnya. Negara wajib menjaga generasi untuk mengisi peradaban di masa mendatang. Oleh karena itu, negara wajib menjamin kemashlahatan rakyatnya. Dengan membuka peluang kerja yang sebanyak-banyaknya akan memudahkan para kepala keluarga memenuhi kewajibannya mencari nafkah. Negara juga menjamin pendidikan dan kesehatan bagi tiap warga negaranya secara gratis atau murah, sehingga keluarga tidak terbebani lagi untuk mencukupi kebutuhan mereka. Dari mana negara mendapatkan dana itu semua? Tentu saja negara memiliki sumber daya alam yang melimpah, maka wajib negara mengelola itu secara mandiri, tidak diserahkan kepada swasta atau asing.
Negara pun wajib membendung arus liberalisme dari negara pengekspor virus berbahaya itu. Berbagai tayangan, musik, budaya, dan gaya hidup harus ditangkal oleh negara. Oleh karena itu, keimanan dan ketakwaan harus ditumbuhkan mulai dari keluarga. Tugas negara dan masyarakat adalah untuk menangkal itu semua, sehingga akan lahir generasi yang beriman dan bertakwa serta bersih dari virus liberalisme.
Oleh sebab itu, kita wajib menyadarkan kepada semua pihak, masyarakat dan penguasa, bahwa ketahanan keluarga dan lahirnya generasi yang gemilang hanya akan terwujud jika kita menerapkan Islam secara kaffah. Wallahu’alam bisshawab
Ariefdhianty Vibie H.
(Muslimah Cinta Islam, Bandung)