Crosshijaber dalam Pusaran Liberalisme
Crosshijaber tengah menjadi sorotan di media sosial. Keberadaannya menjadi viral, setelah beberapa netizen meng-capture salah satu komunitas crosshijaber di Instagram, dan membagikan di akunnya.
Lalu, apakah itu crosshijaber?
Crosshijaber adalah pria yang suka memakai pakaian Muslimah. Mereka sering kali memakai jilbab dan kerudung, bahkan kadang bercadar. Sehingga tak ada yang tahu kalau sebenarnya mereka adalah pria. Tapi mereka mengaku tidak memiliki penyimpangan orientasi seksual. Benarkah demikian?
Menurut psikolog klinis Personal Growth Ni Made Diah Ayu Anggreni munculnya fenomena crosshijaber dikaitkan dengan gangguan perilaku seksual transvestisme.
Transvestisme adalah gangguan perilaku seksual yang membuat seseorang berpakaian atau mengenakan aksesori yang berlawanan dengan jenis kelaminnya untuk tujuan tertentu. Perilaku berpakaian seperti lawan jenis ini dikenal juga dengan nama crossdressing.
Ia juga menjelaskan terdapat dua motif seseorang berperilaku crossdressing seperti crosshijaber yaitu dengan dorongan seksual dan tanpa motif seksual. Masih menurut Ayu, kehadiran komunitas crosshijaber membuat orang-orang tersebut berani muncul ke publik seperti datang ke masjid atau ikut ke pengajian. (cnnindonesia.com, 14/10/2019).
Munculnya fenomena crosshijaber jelas meresahkan. Jika selama ini kita mengenal jilbab dan kerudung sebagai pakaian Muslimah, dan yang memakainya pasti seorang Muslimah. Kini, kita menjadi was-was ketika melihat seseorang memakai jilbab, kerudung dan bercadar berada di tengah majelis Muslimah. Tidak hanya menimbulkan prasangka buruk, tapi juga mencitraburukkan simbol Islam yaitu jilbab, kerudung dan cadar.
Padahal sejatinya jilbab dan kerudung adalah pakaian syar’i bagi Muslimah. Di mana dengan memakainya adalah sebuah kewajiban. Dan merupakan pakaian yang menjadi identitas Muslimah agar mudah dikenal dan tidak diganggu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS. Al-Ahzab [33]: 59).
Fenomena crosshijaber jelas menambah daftar panjang kerusakan sistem sekularisme-liberalisme. Tidak hanya menumbuhsuburkan kebebasan dan mengumbar syahwat. Tapi juga mencerabut fitrah. Kebebasan yang kebablasan terbukti menjerumuskan manusia pada tingkah laku yang menyimpang dari fitrahnya. Bagaimana mungkin seorang laki-laki justru merasa puas memakai pakaian lawan jenisnya? Bahkan dengan percaya diri memasang foto-fotonya yang berpose crossdressing di jejaring sosial.
Padahal sejatinya perilaku menyimpang tersebut (dengan dalih apa pun) mengundang laknat dari Allah Swt.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari).
Melihat maraknya fenomena yang rusak menjamur di tengah umat. Jelas tidak hanya membuat kita resah dan gelisah. Tapi juga membuat kita tidak ingin berlama-lama hidup dalam kubangan lumpur kotor sekularisme-liberalisme. Dan tanpa keraguan keluar dari kubangan sistem rusak ini. Serta mencari mata air yang jernih di mana generasi kita dapat hidup dengan aman.
Sejatinya mata air yang bersih dan jernih itu adalah Islam. Islam yang dibangun berlandaskan akidah dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala, akan membentuk imun kuat bernama iman dan takwa dalam diri individu, masyarakat dan negara. Iman dan takwa inilah yang menjadi benteng dari virus kotor liberalisme.
Individu-individu akan berlomba-lomba dalam aktivitas meningkatkan keimanan dan ketakwaannya. Sebab setiap Muslim akan senantiasa diawasi oleh Allah Ta’ala dalam setiap aktivitasnya. Sehingga ia akan bijak dalam bersikap, serta menjadikan hukum syara’ sebagai standar perbuatannya.
Masyarakat yang ditopang dengan iman dan takwa, akan menjalankan peran dan fungsinya dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar. Sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (TQS. Ali Imran [3]: 104).
Sementara negara yang dibangun berlandaskan iman dan takwa akan menjalankan peran dan fungsinya sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (perisai). Sebab menjadi kewajiban penguasa sebagai kepala negara untuk mengurusi dan melindungi rakyatnya.
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll).
Mengurusi dan melindungi urusan rakyat tidak hanya dalam hal menyediakan kebutuhan pokok rakyatnya. Serta melindungi rakyat dari ancaman dan bahaya secara fisik. Tapi juga mengurusi dan melindungi rakyat dari berbagai pemikiran dan sistem rusak nan perusak. Termasuk pemikiran-pemikiran sekularisme-liberalisme yang menjadi biang kebebasan yang merusak fitrah. Pesan dan fungsi negara ini akan berjalan maksimal jika seluruh aturan Islam diterapkan secara kafah di seluruh aspek kehidupan. Tidak terkecuali dalam kehidupan bernegara.
Jelas, hanya Islam yang mampu menyingkirkan virus kotor sekularisme-liberalisme, yang menjadi sumber maraknya fenomena rusak dari tubuh umat. Dan mengembalikan manusia sesuai fitrahnya. Wallahu’alam bishshawwab.
Ummu Naflah
Pegiat Media Sosial dan Literasi, Founder Generasi Muda Islam Menulis (GENDIS)