Cadar dan Celana Cingkrang Dikaitkan Radikalisme, Ulama dan Tokoh Aceh Kritik Menag
Banda Aceh (SI Online) – Ulama dan tokoh Aceh mengritik sejumlah pernyataan Menteri Agama Fachrul Rozi terkait pemakaian cadar dan celana cingkrang yang dikaitkan dengan radikalisme.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tgk H Faisal Ali menegaskan pemakaian cadar bagi wanita dan celana cingkrang atau di atas mata kaki tidak ada hubungannya dengan radikalisme. Radikalisme tak bisa dilihat dari cara berpakaian seseorang.
“Radikalisme itu ideologi, pemahaman seseorang. Bukan dilihat dari cara berpakaian seseorang,” ungkap Tengku Faisal di Banda Aceh, Jumat (1/11) seperti dilansir ANTARA.
Lem Faisal, sapaan akrab Tgk H Faisal Ali yang akrab disapa, mengatakan pemakaian cadar dan celana cingkrang merupakan hak privasi masing-masing individu masyarakat.
Namun begitu, kata Tgk H Faisal Ali, jika pemerintah ingin menerapkan larangan cadar dan celana cingkrang kepada aparatur sipil negara, silakan saja.
“Terserah kepada pemerintah. Tapi, penerapan larangan itu harus dimusyawarahkan, dibuat peraturan dengan sebaiknya. Sosialisasikan apa tujuan sebenarnya larangan cadar dan celana cingkrang tersebut,” kata Lem Faisal.
Yang harus diingat, kata Tgk H Faisal Ali, pemakaian cadar dan celana cingkrang tidak ada substansinya dengan pemerintahan. Alangkah baiknya, pemerintah mengurus persoalan bangsa lainnya.
“Banyak persoalan lainnya yang perlu dipikirkan dan diselesaikan pemerintah demi mewujudkan masyarakat yang aman tenteram, dan damai. Radikalisme itu tidak ada identik dengan cadar dan celana cingkrang,” kata Tgk H Faisal Ali.
Kritik terhadap menag baru kelahiran Aceh itu juga disampaikan Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Profesor Farid Wajdi.
Farid Wajdi menilai pernyataan Fachrul Razi tanpa dasar dan terkesan mencari sensasi. Karena, tak ada aturan yang melarang orang untuk memakai cadar dan celana cingkrang di depan umun dan instansi pemerintahan.
“Jika Pak Menteri (Fachrul Razi) menganggap orang yang pakai cadar itu penganut paham radikal, banyak sekali para teroris yang memakai celana jeans. Jadi itu tak ada korelasinya dengan pakaian,” ungkap Farid di Banda Aceh, Jumat (1/11) seperti dilansir RMOL.id.
Menurut Farid, jika Menag Fachrul Razi memberlakukan larangan tersebut justru telah melanggar hak asasi manusia, sebagaiman telah diatur dalam Undang-Undang Dasar ’45 yang menyebutkan bahwa Negara akan menjamin kebebasan rakyat Indonesia dalam beragama dan beribadah.
“Sebagai menteri masa nggak ngerti undang-undang. Makanya, sebelum bicara dikaji dulu, dibicarakan dulu secara internal. Jangan ambil start malah menjadi blunder dan membuat gaduh. Belum apa-apa sudah buat gaduh,” sindir mantan Rektor UIN Ar-Raniry itu.
Sepengetahuan Farid, kata radikal itu identik dengan ilmu filsafat atau ilmu kelas tinggi. Arti radikal adalah sampai ke akar-akarnya atau bersifat universal, yang berarti seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya.
“Jadi, kalau Islam radikal itu sangat indentik dengan Aceh yang berislam secara kaffah. Maka, sebaiknya Pak Menteri menahan dulu mengeluarkan pernyataan yang bisa memecah belah bangsa, di saat bangsa ini sedang diuji dengan berbagai macam tantangan disintregasi,” harapnya.
Menurut Farid Wajdi, kalaupun Menag ingin menerapakan larangan tersebut maka terlebih dahulu harus dibuatkan aturan secara jelas, berdasarkan kajian mendalam yang melibatkan MUI selaku otoritas mengatur orang Islam dalam beribadah.
“Seorang menteri harus arif, yang arifnya bagaimana? Buat edaran yang berdasarkan kajian, dan edaran itu disampaikan secara persuasif dulu. Alasan-alasan itu harus diterima akal sehat dalam kondisi sosial kita, diterima oleh mayoritas,” imbuhnya.
Dia juga mengharapkan Fachrul Razi jangan hanya mengatur masalah cadar dan celana cingkrang yang sangat sepele. Masih banyak pekerjaan besar yang harus segera diselesakan. Terutama masalah antrean jemaah haji Indonesia yang mencapai 20 tahun.
red: asyakira/dbs