Deradikalisasi: Strategi Membungkam Sikap Kritis Masyarakat
Deradikalisasi mengiris-iris sikap kritis mengubahnya menjadi apatis, terkhusus bagi mereka yang tak punya idealis. Mengaruskan opini negative tentang Islam atas dalih anti-NKRI dan anti-kebhinekaan. Melenyapkan para penutur ketertindasan yang telah dirampas haknya atas nama swastanisasi oleh para korporasi. Dan menjadikan radikalisme bak common enemy demi mempertahankan singgasana para penguasa.
Presiden Jokowi menunjuk mantan Wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fachrul Razi masuk dalam Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024 sebagai Menteri Agama. Lulusan akademi militer 1970 itu diminta Presiden mengurus pencegahan radikalisme (deradikalisasi) dalam jabatan barunya, Rabu (23/10/19).
Fachrul Razi, usai pelantikan Kabinet Indonesia Maju mengatakan bahwa ia sedang menyusun upaya-upaya menangkal radikalisme di Indonesia. Ia mengakui Presiden memilihnya karena dianggap mempunyai terobosan menanghadapi radikalisme. Selain dirinya, jajaran menteri dalam Kabinet Indonesia Maju diantaranya ada Tito Karnavian yang merupakan mantan Kapolri. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Densus 88 Antiteror Polri dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Ada juga Menko Polhukam Mahfud MD yang pernah menjabat sebagai anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Selain itu, Tjahjo Kumolo memiliki rekam jejak pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia dan mempersulit perpanjangan izin ormas Front Pembela Islam di Kemendagri, kini menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (tirto.id, 25/10/19)
Selanjutnya, Presiden melantik 12 wakil menteri (Wamen) di Kompleks Istana Negara Jakarta, Jumat (25/10/19). Salah satu Wamen yang dilantik adalah Zainut Tauhid Sa’adi. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu akan menduduki jabatan Wakil Menteri Agama (Wamenag) mendampingi Menag (Fachrul Razi). Usai dilantik Presiden, salah satu tugas khusus yang disampaikan Jokowi adalah penanganan masalah radikalisme. Menurut Zainut, masalah ini akan menjadi tugas dan pekerjaan pokoknya bersama Fachrul Razi di Kementerian Agama. (jawapos.com, 25/10/19).
Fokus Pemerintah Indonesia tahun 2019-2024 sejak dilantik adalah deradikalisasi yakni mengacu pada tindakan preventif kontraterorisme atau strategi untuk menetralisir paham-paham yang dianggap radikal dan membahayakan. Sejatinya, apa yang disebut radikalisme ditafsirkan sedemikian rupa untuk menyasar Islam dan Umat Islam. Tergambar jelas ketika Menag berencana melarang aparatur sipil negara (ASN) memakai cadar dan celana cingkrang. Lebih dari itu, radikalisme ini tak ubahnya alat legitimasi penguasa untuk membungkam sikap kritis masyarakat. Pernyataan ini semakin dikokohkan dengan mencuatnya pernyataan bahwa aksi mahasiswa disusupi kelompok radikal dalam dialog kebangsaan yang digelar di (PPI) Sulsel di Warkop Cappo, Jl. Sultan Alauddin Makassar. (Makassar.tribunnews.com, 7/10/19).
Dilansir dari Tirto bahwa isu radikalisme dipakai untuk menyerang institusi lembaga penegakkan hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Isu tersebut sampai memunculkan istilah “Taliban” di dalam KPK. Istilah ini ditujukkan pada Wadah Pegawai KPK yang kritis terhadap proses pemilihan pimpinan KPK dan menolak revisi UU KPK. Selain itu, pembubaran HTI yang menyalahi prosedur dan justru menggunakan kekuasaan politik dengan dalih radikalisme seolah menunjukkan bahwa sebenarnya yang dianggap radikal adalah mereka yang memiliki sikap kritis terhadap penguasa. (tirto.id, 25/10/19)
Memang secara fakta historis, Pemerintah Indonesia selalu menciptakan common enemy untuk mempertahankan singgasana yang telah mereka raih. Apabila masa Soekarno yang dijadikan common enemy adalah Nekolim (Neokolonialisme dan Imperialisme) dengan menunjuk Inggris dan AS sebagai intrpretasinya. Berbeda dengan masa pemerintahan Soeharto yang menjadikan Komunisme sebagai common enemy dengan menyebutnya “bahaya laten komunisme”. Lalu, pascareformasi hingga hari ini yang dijadikan common enemy oleh pemerintah dijuluki anti-NKRI. Hanya saja intensitas kemunculan common enemy ini tidak terlalu nampak pada pemerintahan sebelum-sebelumnya pascareformasi. Musuh bersama hanya muncul sesekali seolah menjadi pengalihan dari isu yang sedang ramai diperbincangkan. Seperti, ketika tiba-tiba muncul berita bom Sarinah ataupun bom buku oleh pelaku yang diduga terorisme. Padahal, belum jelas kebenarannya.
Dan saat ini, ketika animo masyarakat sedang tinggi untuk bersikap kritis, Pemerintah Indonesia yang sama dengan yang menjabat tahun 2014-2019 ini berubah seolah arogan dengan sedikit-sedikit bicara radikal. Siapapun yang berusaha mencoba bersebrangan dengan penguasa akan dianggap radikal. Bahkan seorang Profesor Fakultas Ilmu Hukum Universitas Diponegoro yang sudah bertahun-tahun mengampu mata pelajaran pancasila pun dituduh radikal dan copot dari jabatannya secara tidak hormat. Ialah Profesor Suteki yang menjadi saksi ahli ketika menangani kasus pembubaran ormas HTI.
Kabar terbaru lebih buruk lagi, tatkala radikalisme hendak diubah penguacapannya oleh penguasa dengan sebutan manipulator agama. Seolah sasaran sebutan tersebut mengarah langsung kepada Islam dan Umat Islam. Ditambah dengan fakta yang berseliweran dijagat maya ketika Menag mengkritik isi ceramah Ustadz Abdul Somad serta ingin membatasi isi ceramah ustadz-ustadz di Indonesia dengan dalih radikalisme.
Kewaspadaan umat Islam harus tetap ditingkatkan, jeli melihat berbagai persoalan dan jangan sampai terjebak pada kejumudan berpikir (malas berpikir), apalagi jika sampai apatis. Karena sikap apatis itulah yang diharapkan pemerintah untuk menjalankan roda pemerintahan dengan kediktatoran. Umat Islam harus terus mengkaji seluruh hal tentang Islam, melihat fakta dengan kacamata Islam dan memberikan berbagai solusi untuk negeri ini dengan solusi berlandaskan Islam, serta meyakini bahwa Allah swt. akan menepati janjiNya untuk kembali memenangkan Islam dan para pemeluknya. Sehingga, terwujud kehidupan yang sesuai dengan tuntunan syariat di bawah kibaran panji nabi dalan institusi pemerintahan yang dicontohkan kanjeng Nabi Muhammad saw. yaitu Khilafah Islamiyyah. Yang dengannya bersatulah seluruh umat Islam di dunia, yang dengannya hancurlah makar barat dan antek-anteknya, yang dengannya jayalah Islam dan para pemeluknya. Dan yang dengannya terwujudlah Islam rahmatan lil ‘alamin. Wallahu’alam bishawab.
Anisa Fitri Mustika Bela
Pemerhati Politik, Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta