Kasih Sayang Rasulullah kepada Kaum Mukmin
Sesungguhnya Allah SWT telah mengutus Rasulullah saw sebagai rahmat bagi seluruh manusia untuk memberikan petunjuk pada jalan yang lurus dan menyampaikan syariat penutup bagi manusia. Dengan begitu, orang yang berpegang teguh dengan syariatnya itu dijamin tidak akan tersesat selama-lamanya.
Allah SWT berfirman: “dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya [21]: 107)
Jika diutusnya Rasulullah Saw untuk menjadi rahmat maka secara aksiomatis bisa disimpulkan bahwa beliau memiliki karakter rahim (penuh kasih sayang). Karena itu, Allah SWT telah memuji bahwa beliau diciptakan dengan memiliki karakter bawaan dan fitrah ‘penuh kasih sayang’.
Allah SWT berfirman: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah [9] : 128)
Banyak bukti yang menunjukkan karakter ‘penuh kasih sayang’ pada diri Rasulullah saw, di antaranya adalah kasih sayang beliau kepada kaum Mukminin.
Inilah sebuah hakikat yang dinyatakan dalam ayat di atas (QS At Taubah [9]: 128). Tindakan yang menunjukkan kasih sayang Rasulullah saw telah menjadi sebuah gambaran agung dan indah yang tak tertandingi. Apakah anda tidak tahu bahwa lukisan agung tersebut tampak jelas dalam tidakan beliau ketika meringkaskan (memendekkan) shalatnya –dengan memendekkan bacaan, ruku, dan sujud—padahal beliau telah menyatakan, “Sesungguhnya hitam mataku telah dijadikan dalam shalat.” (HR. An-Nasa’i). Hal itu tiada lain hanya karena beliau mendengar tangisan seorang bayi yang ditinggal sebentar oleh ibunya untuk melaksanakan shalat di belakang Rasulullah saw. Beliau merasa tertekan hatinya oleh kepedihan karena bayi tersebut dan juga ibunya sehingga beliau menahan diri dengan sabar, dengan meringkas shalatnya. Anas menuturkan bahwa Nabi saw pernah bersabda (yang artinya), “Aku baru memulai shalat dan ingin memanjangkannya, kemudian aku mendengar tangisan anak kecil. Aku pun menahan diri untuk tidak memanjangkan shalatku, karena aku tahu bagaimana besar kerinduan seorang ibu ketika mendengar tangis anaknya.” (HR. Al Bukhari)
Perhatikanlah gambaran kedua, bahwa Rasulullah saw sedang melaksanakan shalat, lalu Umamah putri Zainab (Zainab putri Rasulullah saw) menggelantungi tubuh beliau, lalu beliau mengangkatnya ke atas bahunya, jika akan bersujud, beliau meletakkan Umamah di atas tanah, dan jika berdiri, beliau meletakkan Umamah kembali ke atas bahunya.
Adapun gambaran ketiga, ini membawa makna kasih sayang yang sedikit berbeda dan sentuhan yang khas, karena kasih sayang yang ada dalam gambaran ketiga ini berhadapan posisinya dengan ibadah. Ini terjadi ketika Abdullah bin Amr bin Ash datang menghadap Rasulullah saw. Beliau sendiri sudah mengetahui bahwa Abdullah bin Amr sangat giat melaksanakan ibadah; dia selalu melaksanakan shalat tahajud sepanjang malam, suka berpuasa setiap hari, dan Rasulullah saw melihatnya kurus kering. Beliau kemudian bersabda, “Apakah benar kabar yang sampai padaku, bahwa engkau berpuasa sepanjang hari dan shalat tahajud sepanjang malam?” Abdullah berkata, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Jangan lakukan seperti itu. Berpuasa dan berbukalah, tidur dan berdirilah shalat. Sebab, sesungguhnya tubuhmu memiliki hak darimu, matamu memiliki hak darimu, dan istrimu pun memiliki hak darimu.” (HR. Bukhari)
Rasulullah saw pernah memasuki masjid, ternyata di atasnya ada seutas tali yang dibentangkan di antara dua tiangnya. Beliau bertanya, “Tali apakah ini?” Para sahabat berkata, “Ini adalah tali milik Zainab, jika dia merasa capai maka dia akan menegakkan dirinya dengan tali itu.” Lalu Rasulullah saw bersabda (yang artinya): “Lepaskanlah tali ini, salah seorang di antara kalian hendaklah shalat menurut kekuatannya, jika lelah maka tidurlah.” (HR. Bukhari)
Adapun gambaran keempat merupakan gambaran teragung karena kasih sayang dalam diri Rasulullah saw telah mendorong beliau untuk menyebutkan sebuah perkara yang sangat sulit bagi seseorang untuk menyebutkannya. Akan tetapi, walaupun begitu, beliau tetap menyebutkannya untuk meringankan kesedihan yang meliputi saudaranya yang beriman. Telah datang seorang lelaki menghadap Rasululah saw dan bertanya, “Dimanakah bapakku berada?” Beliau menjawab, “Di neraka.” Ketika Rasulullah saw melihat kesedihan pada wajah sahabatnya, maka ia berkata: “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di neraka.” (HR. Muslim)
(Dikutip dari kitab Dirasah Tahliliyah li Syakhsiyah ar-Rasul Muhammad, karya Prof Dr Rawwas Qal’ah Jie)