Nikah itu Mudah, Kok Dibuat Susah?
Era pemerintahan baru selalu identik dengan aturan baru. Aturan-aturan ini dibuat demi kemaslahatan umat, seiring dengan perkembangan zaman. Namun, bagaimana jika aturan baru ini justru menyulitkan masyarakat?
Mulai tahun 2020, ada aturan baru yang harus diikuti oleh seluruh masyarakat Republik Indonesia terkait pernikahan. Menikah di era Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin tak cukup hanya bermodalkan cinta dan restu orangtua. Pasangan yang hendak menikah wajib mengantongi sertifikat perkawinan.
Aturan ini dicanangkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) diperuntukkan bagi pasangan yang akan atau berencana melakukan pernikahan pada tahun 2020.
Aturan baru ini dianggap bermanfaat dan nantinya akan berguna sebagai bekal bagi pasangan ketika sudah berkeluarga. Melalui kelas bimbingan, masyarakat yang akan berencana menikah diberi bekal mengenai pengetahuan seputar kesehatan reproduksi, penyakit-penyakit yang mungkin terjadi pada permasalahan suami-istri hingga masalah stunting pada anak. Kelas bimbingan sertifikasi sebelum menikah ini diadakan selama tiga bulan, bagi masyarakat yang dianggap sudah lolos akan diberikan sertifikat. (https://www.tribunnews.com, 15/11/2019)
Sertifikasi ini mungkin tampak mewah pada kulitnya. Akan tetapi kita tidak boleh melupakan bagaimana panjangnya prosedur yang harus dilakukan. Tiga bulan bukanlah waktu yang singkat. Biaya yang diperlukan tentu tidak sedikit. Belum lagi, hasil akhirnya pun tak pasti. Lantas, jika tidak lulus sertifikasi apakah calon pasangan terpaksa gagal untuk menikah? Konon adanya sertifikasi ini ditujukan untuk mengurangi angka permasalahan pada pernikahan. Apakah benar demikian?
Dalam pandangan Islam, menikah merupakan ibadah. Selain itu menikah juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya. Agama telah mengatur tentang rukun dan syarat menikah yang harus dipenuhi oleh calon pasangan, tanpa adanya sertifikasi nikah. Tidak seperti sekarang di mana pernikahan kental dengan tradisi. Pada masa Rasulullah Saw selama rukun dan syarat terpenuhi, maka pernikahan bisa dilaksanakan. Rukun nikah itu antara lain: Ada pengantin pria, pengantin wanita, wali nikah, saksi, mahar, serta ijab dan qobul.
Mari kita tengok kisah pernikahan Ali bin Abi Thalib ra dengan Fatimah ra. Ketika Ali tidak memiliki harta, maka baju zirah huthamiyyah dijual dan dijadikannya mahar. Peristiwa ini memberikan pemahaman bagi kita bahwa sejatinya pernikahan itu tidak menyulitkan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Hatim al-Asham yang dikutip dalam Hilyatul Auliya:
“Tergesa-gesa bagian dari kelakuan syaitan kecuali dalam lima hal, pertama memberi makan tamu, kedua mengubur jenazah, ketiga menikahkan anak perawan keempat membayar hutang dan kelima bertaubat dari segala dosa.”
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa pernikahan merupakan hal yang sebaiknya disegerakan. Jika ada calon pasangan yang berniat untuk beribadah, kenapa harus dipersulit? Angka permasalahan kehidupan rumah tangga yang cukup tinggi, tentu kita tidak bisa mengabaikannya. Hal ini seharusnya bisa diminimalisasi dengan ilmu yang mumpuni. Ilmu pernikahan sendiri tidak hanya tersedia dari proses sertifikasi menikah. Banyak sarana untuk belajar secara mandiri, misalnya dengan kuliah pra-nikah yang diadakan oleh para pemerhati umat. Begitu juga dengan kelas kesehatan dan parenting yang tak kalah banyak. Jika saja calon pasangan berpikir untuk terus menimba ilmu, maka diharapkan angka permasalahan ini dapat dikurangi.
Topik terkait sertifikasi menikah ini tentunya harus dikaji ulang. Ketika Islam mengatur untuk menyegerakan pernikahan, kenapa negara justru mempersulitnya? Beginilah jika agama dipisahkan dari kehidupan, aturan manusia dianggap lebih baik dari aturan sang Pencipta. Maka, sudah saatnya kita kembali pada syariat Allah SWT, serta menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai pedoman hidup. Pernikahan itu sejatinya mudah, seharusnya tidak dibuat susah. Wallahu A’lam Bishshawaab.
Nurlaini
(Penulis, Warga Masyarakat)