Raja An-Najasyi: Isa Hamba Allah, Bukan Anak Allah
An-Najasyi adalah raja Habasyah (Ethiopia) yang adil. Pintu hatinya terbuka menerima kebenaran hingga ia masuk Islam.
An-Najasyi dan mayoritas penduduk Habasyah mulanya beragama Nasrani. Tetapi setelah kedatangan kaum Muhajirin dari Makkah ke Habasyah, An-Najasyi akhirnya keluar dari agama yang dipeluknya, masuk ke dalam Islam.
Semua itu terjadi setelah dilakukan dialog panjang antara Najasyi dengan juru bicara kaum Muhajirin, Ja’far bin Abu Thalib. Dialog ini terjadi lantaran dua orang utusan Qurays, Abdullah bin Abu Rabi’ah dan Amr bin Al Ash (sebelum masuk Islam), datang ke Habasyah untuk membawa kembali sekitar 83 orang muslim yang hijrah dari Makkah. Dua utusan Qurays itu berusaha mempengaruhi dan memprovokasi An-Najasyi agar melepaskan para Muhajirin dan menyerahkan kepada mereka. Terjadilah diskusi di antara mereka, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah berikut ini.
An-Najasyi bertanya kepada kaum Muhajirin, “Apa sebenarnya yang berbeda agama kalian dengan agama kaum kalian, dan mengapa kalian tidak masuk ke dalam agamaku (Nasrani, red), serta tidak masuk ke dalam salah satu dari agama-agama yang ada?”
Ja’far bin Abu Thalib menjawab, “Wahai paduka raja, tadinya kami kaum jahiliyah. Kami menyembah patung-patung, memakan bangkai, berzina, memutus silaturahim, menyakiti tetangga, dan orang kuat diantara kami memakan orang lemah. Itulah keadaan kami hingga Allah mengutus seseorang dari kami menjadi Rasul kepada kaum kami. Ia mengajak kami kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, beribadah kepada-Nya dan meninggalkan batu dan patung-patung yang dulu kami sembah dan orang tua kami menyembahnya. Rasul tersebut memerintahkan kami jujur dalam berkata, menunaikan amanah, menyambung silaturahmi, bertetangga dengan baik, menahan diri dari hal-hal yang haram dan tidak membunuh. Ia melarang kami dari perbuatan zina, berkata bohong, memakan harta anak yatim dan menuduh berzina wanita baik-baik. Ia memerintahkan kami beribadah kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Ia juga memerintahkan kami shalat, zakat dan puasa.”
Sepupu Rasulullah Saw itu kemudian melanjutkan penjelasannya, “Kemudian kami membenarkan Rasul tersebut, beriman kepadanya, dan mengikuti apa yang dibawanya dari sisi Allah. Kami beribadah kepada Allah saja dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Beliau mengharamkan kepada kami apa saja yang beliau haramkan, dan menghalalkan kepada kami apa saja yang beliau halalkan. Setelah itu, kaum kami bertindak jahat kepada kami. Mereka menyiksa, dan menganiaya kami karena agama kami. Mereka menginginkan kami kembali menyembah patung-patung, tidak menyembah Allah Ta’ala, dan kami menghalalkan apa yang dulu pernah kami halalkan. Karena mereka selalu memaksa kami, menyiksa kami, mempersempit ruang gerak kami, dan memisahkan kami dengan agama kami, maka kami pergi ke negerimu dan memilihmu daripada orang lain. Kami lebih suka hidup berdampingan denganmu, dan kami berharap tidak disiksa lagi di sisimu, wahai paduka raja’.”
Ummu Salamah berkata, “An-Najasyi berkata kepada Ja’far, ‘Apakah engkau mempunyai sesuatu yang datang dari sisi Allah?’ Ja’far berkata kepada An-Najasyi, ‘Ya, ada.’ An-Najasyi berkata kepada Ja’far, ‘Bacalah untukku!’” Lantas Ja’far membacakan permulaan Surat Maryam.
Ummu Salamah, yang ketika itu ikut serta dalam rombongan Muhajirin bersama suaminya, Abu Salamah, berkata: “Demi Allah, An-Najasyi menangis hingga jenggotnya basah oleh air mata. Para uskup juga menangis hingga air matanya mereka membasahi mushaf-mushaf mereka ketika mendengar apa yang dibaca Ja’far. An-Najasyi berkata, “Sesungguhnya ayat tadi dan yang dibawa Isa berasal dari sumber yang sama. Pergilah kalian berdua, hai utusan Qurays!. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan menyerahkan mereka kepada kalian berdua dan mereka tidak bisa diganggu.”
Gagal membujuk An-Najasyi tak membuat Amr bin Al-Ash putus asa. Ia kembali lagi ke An-Najasyi meskipun Abdullah bin Rabi’ah menentangnya. Amr bin Al-Ash berkata, “Demi Allah, aku akan jelaskan kepada An-Najasyi, bahwa sahabat-sahabat Muhammad meyakini Isa bin Maryam adalah hamba biasa’.”
Benar, keesokan harinya, Amr bin Al Ash menghadap An-Najasyi untuk kedua kalinya dan berkata kepadanya, “Wahai paduka raja, mereka mengatakan sesuatu yang aneh tentang Isa bin Maryam. Oleh karena itu, kirim orang untuk menghadirkan mereka kesini agar engkau bisa bertanya tentang tanggapan mereka terhadap Isa bin Maryam!”. Lantas An-Najasyi mengirim seseorang untuk menanyakan tanggapan kaum Muslimin soal Isa bin Maryam.
Ummu Salamah berkata, “Ketika kaum Muslimin masuk ke tempat An-Najasyi, An-Najasyi bertanya kepada mereka, ‘Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?’. Ja’far menjawab, ‘Menurut kami, Isa bin Maryam ialah seperti dikatakan Nabi kami bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, Ruh-Nya, dan Kalimat-Nya yang ditiupkan ke dalam rahim Maryam yang perawan.’ An-Najasyi membungkuk ke tanah guna mengambil tongkat, kemudian berkata, ‘Demi Allah, apa yang dikatakan Isa bin Maryam tentang tongkat ini tidak berbeda dengan apa yang engkau katakan’.”
Mendengar perkataan An-Najasyi, para Batrix disekitarnya mendengus. Kemudian An-Najsyi mengusir kedua utusan Qurays itu dan menolak seluruh hadiah yang dibawa mereka. Sementara kaum Muhajirin dijamin keamanannya dan dipersilahkan tinggal di Habasyah. An-Najasyi pun akhirnya menyatakan keIslamannya, walaupun rakyatnya menentang. KeIslaman An-Najasyi ini diketahui oleh Rasulullah Saw. Ketika An-Najasyi wafat, Rasulullah dan para sahabat menunaikan sholat ghaib untuknya. An-Najasyi meninggal sebagai seorang muslim. Wallahu a’lam.
(Shodiq Ramadhan)