Majelis Taklim Radikal atau Menag Radikal?
Penerbitan Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 29 tahun 2019 tentang Majelis Taklim baru-baru ini menuai respon yang cukup ramai dari berbagai kalangan.
Bagaimana tidak, aturan baru tersebut mewajibkan/mengharuskan Majelis Taklim yang ada di seluruh Indonesia untuk terdaftar di Kementrian Agama. Fachrul Razi selaku menteri agama menegaskan bahwa tujuan dari aturan ini tidak lain untuk memudahkan pemerintah memberi bantuan baik melalui pendanaan maupun melalui pembinaan Majelis Taklim termasuk juga di dalamnya terkait dengan skala jamaah, ustadz dan jenis materi ajar dalam penyelenggaraannya (vivanews.com)
Jika dilihat sepintas, maksud dan niat menteri agama sangatlah positif dengan pertimbangan diperlukannya pendataan lengkap dan masif tentang Majelis Taklim untuk memperjelas jalur distribusi bantuan pemerintah yang di mana selama ini belum diatur secara detail, karena memang keberadaan dan perannya sebagai kelompok dakwah Islam sangat penting dalam memberikan pemahaman Islam di tengah masyarakat. Namun di sisi lain, terdapat beberapa tanggapan kritis soal munculnya regulasi Majelis Taklim ini.
Pertama, ranah Majelis Taklim terlalu jauh untuk diurusi oleh Kemenag, bahkan hal tersebut dinilai oleh Komisi VIII DPR RI sebagai upaya yang terlalu berlebihan atau bisa dikatakan lebay sebab Majelis Taklim itu merupakan wadah yang lahir dari masyarakat untuk forum silaturahim umat Islam, masyarakat sendiri lebih paham untuk mengurusinya, jadi tidak perlu adanya aturan teknis oleh negara dengan jumlah aturan enam Bab 22 Pasal (m.detik.com).
Kedua, terbitnya aturan Menag tentang Majelis Taklim diduga kuat punya korelasi dengan isu radikal yang selama ini diframing jahatkan kepada umat Islam. Meski Menag sendiri membantah, aroma adanya agenda terselubung sangatlah kental mengingat sepak terjang Fachrul Razi sedari awal ia menjabat selalu mengeluarkan pernyataan dan kebijakan kontroversial dengan istilah radikal radikulnya.
Maka amatlah wajar masyarakat melihat aturan ini bagai gayung bersambut dengan proyek-proyek deradikalisasi dari pemerintah sebelum-sebelumnya. Tujuannya tiada lain agar Majelis Taklim dapat dengan mudah diintervensi, dikontrol dan didata, kelompok MT mana yang “terpapar radikal” ala tafsir pemerintah dan MT mana yang ikut maunya pemerintah sesuai kriteria lalu diberi bantuan.
Ketiga, terbitnya aturan terbaru menteri agama ini semakin kuat mengkonfirmasi, bahwa pernyataan sikap Fachrul Razi yang mengaku sebagai menteri enam agama, justru tidak memiliki konsistensi nyata dalam ranah lapangan dan implementasi, sebab kinerja yang diperlihatkan viral sejauh ini hanyalah fokus pada radikalisme, pada aktifitas dan kelompok umat Islam semata, sama sekali jarang menyentuh ranah agama-agama lain, ini nanti malah bisa menimbulkan konflik agama. Sangat mengherankan, apakah Fachrul Razi memang sengaja menyudutkan umat Islam? Ataukah menteri agama alergi terhadap agamanya sendiri sehingga “pilih kasih” terhadap agama lain? Dari faktanya mungkin saja iya.
Ditambah lagi, gaya kinerja Menag cenderung membawa pola solusi ciri khas militer dalam isu agama. Tidak sepakat ya dipecat, berseberangan pendapat dipersekusi sampai riwayat tamat, tidak ada yang namanya acuan halal dan haram dalam kebijakan. Bukankah semua ini namanya “Radikal”? Seolah tidak ada program kerja lain untuk diurusi oleh menteri agama, padahal banyak persoalan yang lebih utama, misalnya fokus pada penanganan isu jual beli jabatan dan korupsi dalam tubuh kementrian, bisa juga soal dana Haji dan Umroh dalam kasus penipuan jamaah First Travel yang kemudian dana umat itu diambil oleh negara tanpa sekalipun memikirkan kerugian jamaahnya. Padahal dilihat dari manapun, mereka yang menjadi korban penipuan lebih membutuhkan bantuan kemenag daripada Majelis Taklim itu sendiri. Sungguh aneh saja kalau sudah di level kementrian masih belum jelas prioritas-prioritas kinerjanya.
Tidak bisa dipungkiri, keberadaan Majelis Taklim memang sangat signifikan dalam memberikan pengaruh pada perkembangan Islam. Dapat dilihat dari antusiasme partisipasi masyarakat yang kian ramai di berbagai event dakwah Islam seperti pengajian rutin pekanan, tabligh Akbar, hingga puncaknya pada perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw kemarin. Menteri agama dalam hal ini sebagai representasi pemerintah, seharusnya tidak membebani masyarakat dengan persoalan administratif negara yang selama ini terkenal begitu rumit dan pengurusannya teramat menyusahkan, kalaupun tetap dilanjutkan, kedepannya juga akan berujung kepada mengkotak-kotakkan umat Islam dengan label sudah teregistrasi Kemenag dan yang belum terdaftar.
Dengan aturan ini, tujuan adanya Majelis Taklim untuk mempererat ukhuwah dan persatuan dalam bingkai pemahaman Islam justru tidak bisa diwujudkan dan menghasilkan kebalikannya, malah kemudian diperburuk oleh aturan-aturan pemerintah lainnya. Tinggal tunggu saja waktunya, nanti akan segera tiba saat di mana umat akan terpahamkan juga tersadarkan, bahwa rencana-rencana jahat yang dialamatkan kepada umat Islam akan berbalik arah menyerang dan menghancurkan para pelakunya sendiri. Sepandai-pandainya tupai melompat suatu saat ia akan tetap mati juga.
Tetap waspada, dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. Wallahu a’lam bishshawaab.
Muammar Iksan
Berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Pernah menempuh pendidikan S1 Kesehatan Masyarakat di Universitas Muslim Indonesia Makassar.